Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra), Herry Yogaswara, mengungkapkan berkaitan dengan penulisan sejarah kebudayaan Bali, ada banyak prasasti atau situs-situs sejarah yang ditemukan yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah kebudayaan Bali.
"Saya kira ada kekhasan di Bali ini. Artinya saya masih menerima surat dari komunitas yang meminta sivitas BRIN untuk membantu membacakan prasasti dan sebagainya," beber Herry dalam Webinar Forum Kebhinekaan Seri ke-16 bertema Prasasti sebagai Sumber Penulisan Sejarah Kebudayaan Bali dikutip dari laman brin.go.id, Jumat, 26 Mei 2203.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Herry menjelaskan hal itu merupakan suatu kekhasan yang dimiliki OR Arbastra yang tidak ada pada organisasi riset lain. Pada organisasi riset lain tidak ditemukan kebutuhan-kebutuhan untuk memahami prasasti dan sebagainya yang berasal dari komunitas.
Dia mengajak periset OR Arbastra untuk memikirkan mekanisme bila ada temuan-temuan prasasti baru atau situs-situs baru. "Meskipun sudah ada organisasi atau lembaga yang punya kewenangan yakni Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK), tetapi pada sisi lain sering kali yang kita sebut Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) mungkin tidak selalu mendapat perhatian," ungkap Herry.
Kepala Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah (PR APS) BRIN, Irfan Mahmud, mengatakan banyak isu penting tentang Bali yang belum terungkap. Dari sisi antropologi, sudah sangat banyak yang mengungkap tentang Bali, tetapi secara material tentu juga masih banyak yang menarik dari Bali.
Misalnya, tradisi yang masih berlanjut dan beberapa hal lain. Sebuah prasasti itu bisa mengungkap beberapa toponim-toponim. Kemudian, arkeolog bisa menjajaki lebih jauh cerita di balik toponim itu berdasarkan artefak-artefak yang ditemukan pada lokasi situs-situs yang disebutkan di dalam prasasti.
"Ini penting, karena di Tabanan yang menjadi isu ini pada abad 9-14 M, masih sangat kurang informasi dalam konteks tentang sejarah Bali. Mudah-mudahan ini bisa menjadi inspirasi kita di masa depan," kata Irfan.
Dia mengatakan Bali merupakan bagian penting dari lokasi penemuan prasasti yang sampai sekarang masih banyak temuan-temuan. I Gusti Made Suarbhawa, peneliti kelompok Riset Efigrafi PR APS BRIN memaparkan tentang temuan prasasti logam di tepi timur Danau Tamblingan sebagai data untuk mengungkap Situs Tamblingan.
Suarbhawa menjelaskan pada September 1997, salah seorang petani penggarap dari Desa Wanagiri saat menggarap lahan di tepian timur Danau Tamblingan, cangkulnya terantuk benda keras. Setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata benda tersebut adalah lempengan prasasti tembaga.
"Temuan lempeng prasasti tembaga ini menjadi indikator penting dan tonggak awal Balai Arkeologi Denpasar untuk melaksanakan penelitian di sekitar Danau Tamblingan," beber Suarbhawa.
Dia menyebut tujuan dari penelitian ini sebagai tolok ukur untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan berkenaan dengan korelasi prasasti yang ditemukan pada 1987 dan prasasti pada 2002 dengan Situs Tamblingan.
Isi prasasti Tamblingan dikeluarkan pada 1306 Saka atau 1384 Masehi ditujukan kepada masyarakat kelompok perajin besi atau pande besi yang semula bermukim di wilayah Desa Tamblingan. Pande besi diinstruksikan agar kembali bertempat tinggal di Desa Tamblingan.
Dalam proses pengembalian ini melibatkan pejabat daerah yang berkedudukan di Ularan sebagai mediator dan pengawal yang memberikan jaminan keamanan lingkungan. Hal ini untuk memberikan perlindungan kepada kelompok pande besi yang diganggu oleh salah seorang tokoh yang bernama Arya Cengceng.
Hasil-hasil ekskafasi di situs Tamblingan antara lain berupa artefak dan ekofak yang sebagian besar mengacu pada aktivitas yang terkait dengan pengolahan logam. Berbagai artefak hasil ekskafasi terdapat kesejajaran informasi dalam prasasti tentang kelompok perajin logam dengan berbagai hasil produksinya.
Keberadaannya didukung oleh berbagai informasi yang dimuat dalam prasasti yang ditemukan dekat situs Tamblingan dan juga prasasti-prasasti lain yang sudah ditemukan sebelumnya yang memuat informasi serupa.
I Nyoman Rema, peneliti PR APS BRIN memaparkan penelitian berjudul Siwa Buddha Tattwa Dalam Prasasti Bali Kuno Abad VIII-XI. Dalam penelitiannya, Nyoman Rema melihat dalam prasasti Bali Kuno, baik yang berbahan tanah liat maupun berbahan tembaga memiliki dimensi ekonomi, dimensi sejarah, dimensi sosial, dan lain sebagainya.
Salah satu dari dimensi prasasti tersebut adalah dimensi keagamaan. "Dimensi keagamaan yang dimaksud ada dalam bentuk ajaran dan ada juga yang dituangkan dalam bentuk hukum," jelas Nyoman Rema.
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi, dosen Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana memaparkan penelitian berjudul Sebaran Permukiman pada Masa Bali Kuno Abad IX-XIV di Kabupaten Tabanan Berdasarkan Kajian Prasasti dan Toponimi. Dia mengatakan
sejak manusia mulai hidup menetap, permukiman menjadi suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Pada awalnya, permukiman yang dibangun bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Namun, dalam perkembangannya pemilihan dan kepemilikan permukiman berkembang menjadi kebutuhan psikologis, estetika, status sosial, dan ekonomi. Puluhan pemukiman yang tercatat pada masa Bali Kuno abad IX-XIV M berkembang di bawah kekuasan raja-raja yang berkuasa pada masa itu.
"Hanya saja permukiman-permukiman yang sering menjadi tujuan riset adalah permukiman yang saat ini masih berlanjut dalam artian terlihat nyata masih kuno," jelas Puji Laksmi.
Berdasarkan penelusuran terhadap peta-peta lama dan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI), terdapat lima wilayah yang masih dapat ditelusuri toponim-toponimnya. Kelima wilayah tersebut, adalah Desa Timpag, Bantiran, Batungsel, Bantunya, dan Mayungan. Lokasi permukiman erat kaitannya dengan keberadaan danau dan daerah aliran sungai karena merupakan daerah yang sangat subur dan potensial sebagai daerah pertanian.
Baca juga: Arca Ganesha Diduga Jatuh ke Kawah Bromo |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id