Ilustrasi. Foto: Medcom/Farhan Dwitama
Ilustrasi. Foto: Medcom/Farhan Dwitama

PPDB SMA di Yogyakarta Pertimbangkan Nilai USBN SD

Ilham Pratama Putra • 09 Juni 2020 20:25
Jakarta: Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Yogyakarta menggunakan nilai Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) SD ke dalam nilai gabungan yang akan dipertimbangkan dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2020.  Nilai ini akan diperhitungkan secara gabungan bersama nilai rapor dan status akreditasi sekolah asal siswa.
 
Kebijakan terebut tertuang dalam Surat Keputusan Kepala Disdikpora DI Yogyakarta nomor 3196/KEPKA/2020 tentang Petunjuk Teknis Penerimaan Pesreta Didik Baru Daring/Online Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun Pelajaran 2020/2021.
 
Dalam poin K di dalam juknis itu disebutkan "Nilai Gabungan adalah rata-rata nilai hasil perhitungan rapor mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, dan IPA dari peserta didik SMP/MTs semester satu sampai dengan semester lima diberikan bobot 80 persen, ditambah nilai rata-rata UN (Ujian Nasional) sekolah empat tahun terakhir diberikan bobot 10 persen, dan ditambah nilai akreditasi sekolah dikalikan empat diberikan bobot 10 persen".

"Karena SMP tidak ada UN, sehingga disepakati bahwa pendidikan ada input dan proses, maka nilai input waktu masuk SMP maupun SMA yaitu rata-rata USBN SD digunakan 10 persen," kata Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Disdikpora DIY, Didik Wardaya kepada Medcom.id, Selasa, 9 Juni 2020.
 
Penggunaan nilai USBN SD hanya untuk menambah nilai. Disdikpora DIY tetap menggunakan bobot terbesar untuk nilai rapor yakni sebesar 80 persen. "Sedangkan sisanya, 10 persen lagi dari akreditasi sekolah sebelumnya," jelas Didik.
 
Didik mengatakan, penggabungan beberapa poin tersebut karena sekolah tujuan tidak menemukan alat ukur yang mampu merefleksikan prestasi anak. Jika hanya murni menggunakan rapor, banyak orang tua siswa yang menentang.
 
"Jika menggunakan nilai rapor murni banyak ditentang sebagian masyarakat karena tidak standar antarsekolah," ungkap dia.
 
Baca: Cerita Diaspora Tentang Warga Australia yang Happy Saat Pandemi
 
Didik menambahkan, zonasi menggunakan jarak domisili tidak bisa diterapkan di DIY. Sebab, ada beberapa kecamatan yang tidak punya sekolah, sehingga zonasi diyakini tak efektif.
 
"Jaraknya otomatis jauh dari desa-desa yang punya sekolah,  jika menggunakan usia, anak-anak yang mengikuti kelas SKS (Satuan Kredit Semester) akan lulus lebih muda dan kalah bersaing dengan anak yang lebih tua, mungkin karena pernah tinggal kelas," ujar Didik.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan