Salah satu ilmuwan diaspora Indonesia di Swinburne University of Technology, Australia, Dina Wahyuni.  Foto/Dok. UMM.
Salah satu ilmuwan diaspora Indonesia di Swinburne University of Technology, Australia, Dina Wahyuni. Foto/Dok. UMM.

Simposium Cendekia Kelas Dunia 2019

Jebolan Unej Berbagi Cerita Kemajuan Kampus Australia di UMM

Daviq Umar Al Faruq • 22 Agustus 2019 13:22
Malang:  Salah satu ilmuwan diaspora Indonesia di Australia, Dina Wahyuni, berbagi kisah tentang kemajuan teknologi pada tempatnya mengajar saat ini. Yakni di Swinburne University of Technology, Australia.
 
Cerita itu dibagikan olehnya saat menghadiri kegiatan Penguatan Program Internasionalisasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menuju World Class University di Kampus UMM, Rabu, 21 Agustus 2019.
 
Lulusan S1 Universitas Negeri Jember (Unej), Jawa Timur ini menjelaskan, perguruan tinggi seharusnya melakukan penyesuaian di era revolusi industri 4.0.  Salah satunya dengan memberikan kuliah berbasis dalam jaringan (daring) atau online.

"Metode tersebut sudah diterapkan dengan baik di Swinburne University of Technology,” katanya.
 
Dina mengaku telah melakukan pengamatan terhadap lingkungan akademik universitas kelas dunia di Australia. Terutama di kampus tempatnya mengajar sebagai dosen tetap.
 
“Di sana, seluruh kualitas perguruan tinggi dinilai oleh customer, yakni mahasiswa,” tuturnya. 
 
Penilaian kualitas perguruan tinggi yang ia maksud tersebut meliputi pengajaran di kelas, kompetensi dosen dan kualitas bahan ajar. Dina mengaku perguruan tinggi tempatnya mengajar selalu mendapat urutan pertama dalam pelayanan pendidikan.
 
Selain itu, Dina pun juga menceritakan betapa ketatnya suasana akademik di Swinburne University of Technology. “Jika dosen berhalangan hadir, ia tak bisa mengganti kelas sesuai kehendak,” ujarnya.
 
Baca:  Perempuan Asing Pertama yang Raih Penghargaan Osaka University
 
Dosen yang berhalangan hadir harus menghubungi partner mengajarnya dan kelas harus tetap berlangsung karena semua sudah tersistem. Setiap proses belajar mengajar berlangsung, secara otomatis akan direkam dan mahasiswa dapat memutar ulang setelah kelas berakhir.
 
Ada tiga macam dosen di Swinburne. Teaching Only, Research Only dan Conventional. Teaching Only tidak memiliki kewajiban untuk meneliti, tugasnya hanya mengajar sedangkan Research Only kebalikannya.
 
Untuk Conventional, dosen berkewajiban meneliti dan mengajar. Perbedaan ini adalah sebuah upaya untuk tetap memfokuskan lembaga pendidikan dalam melaksanakan cita-cita dan kewajibannya.
 
Ekosistem riset yang ada di kampus ini diakui Dina tak jauh berbeda dengan kampus di Indonesia. Hanya saja, di Australia, penelitian besar-besaran diprakarsai oleh pemerintah. “Tahun ini, kami sedang meneliti emisi karbon,” ungkap Dina.
 
Menurut Dina, untuk menuju World Class University butuh keseriusan membentuk budaya akademik yang baik. Mulai dari riset hingga pelayanan pendidikan pada para mahasiswa. 
 
Dina pun mencontohkan. Saat mengajar, dia memiliki tanggung jawab mengajar 1.000 mahasiswa pada satu mata kuliah. 
 
Kemudian mahasiswa itu dibagi menjadi dua kali pertemuan. Artinya, satu kali pertemuan ada 500 mahasiswa yang diajar dalam kelas besar. 
 
"Kelas teori hanya berlangsung dua jam. Selanjutnya adalah kelas tutorial yang dibagi dalam kelas-kelas kecil bersama para instruktur masing-masing," terangnya.
 
Selain kelas secara langsung, ada juga kelas online. Kelas online tidak sepenuhnya berjalan online. Tetap ada 12 kali pertemuan tatap muka yang dilakukan. Dalam prakteknya, kelas online ini hampir mirip dengan yang diterapkan Universitas Terbuka di Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan