Ketua Umum Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT), M. Izzul Muslimin meminta mahasiswa sebagai kelompok intelektual dan terdidik mampu menjadi kelompok tengah. Maraknya kelompok populisme kanan yang terjadi saat ini disebabkan absennya kelompok mahasiswa yang progresif dan lebih rasional melihat permasalahan bangsa.
"KAPT Jakarta Raya juga merasakan kegelisahan atas kondisi politik yang ada saat ini, khususnya yang terjadi di dalam lingkungan kampus. Merasa perlu kembali membangun wacana-wacana kesadaran politik yang lebih rasional, objektif dan ilmiah," kata Izzul dalam diskusi 'Islam Under Attack' di Jakarta, Senin 2 Juli 2018 malam.
Baca: Stigma Perguruan Tinggi Sarang Radikalisme Menguat
Khususnya mahasiswa, didorong untuk lebih peka terhadap persoalan-persoalan kebangsaan yang ada saat ini. Baik itu di kalangan kampus ataupun lingkungan kerja yang menjadi basis kegiatan sehari-hari.
Menurut Izzul, jika mahasiswa dianggap sebagai kelompok yang demokratis, tentu harus merasakan kegelisahan bangkitnya kelompok populisme kanan. Mahasiwa juga dianggap sebagai kelompok mapan dalam iklim/sistem demokrasi politik yang berlaku umum dalam 20 tahun belakangan ini.
Kebangkitan populisme kanan di Indonesia seperti di negara lainya, juga menimbulkan kegelisahan bagi kelompok-kelompok demokrasi lainnya. Khususnya pasca pemilihan Presiden
2014.
Di mana semakin mengerucut pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 merujuk pada aksi-aksi masa yang mengitari momentum tersebut. "Akhirnya memunculkan sebuah gerakan populisme kanan dalam bingkai politik identitas (suku, agama dan ras). Fenomena gerakan populisme kanan," jelasnya.
Populisme kanan ini juga mempengaruhi isu dan gaya komunikasi politik para elit partai politik secara nasional, khususnya dalam momentum pemilihan kepemimpinan.
Munculnya kelompok-kelompok ini terutama pasca orde baru tumbang. Demokrasi dan desentralisasi memberi ruang besar kepada banyak kelompok politik untuk berkembang, baik itu yang memiliki atau tanpa ideologi.
Kelompok populisme kanan bekerja dengan membentuk narasi yang memisahkan masyarakat. Dalam identititas primordial seperti suku, agama dan ras. "Keduanya saling mengeksekusi satu sama lain, walaupun dalam kedua narasi tersebut sebenarnya terdapat keberagaman kelompok kepentingan," jelasnya.
Sejatinya hal ini positif dalam arena pertarungan politik. Masyakarat memiliki kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam menciptakan keberagaman. "Sayangnya, narasi dominan yang terbangun ternyata lebih didominasi oleh isu-isu politik identitas, termasuk di lembaga perguruan tinggi. Sebuah institusi yang seharusnya dapat memahami politik secara lebih rasional," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News