Peneliti ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin. DOK BRIN
Peneliti ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin. DOK BRIN

Peneliti BRIN Sebut Meningkatnya Peristiwa Alam Ekstrem Indikasi Perubahan Iklim

Renatha Swasty • 04 April 2023 11:28
Jakarta: Peneliti ahli Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, mengungkapkan sejak 1880 hingga 1979 suhu Bumi tidak pernah mengalami anomali positif dengan tren terus meningkat. Sejak 1940, anomali berubah positif setelah itu negatif (mendingin) lagi kemudian naik sedikit positif lalu mendingin lagi dan inilah yang dinamakan dengan Natural Variability Climate.
 
Erma menyebut sejak 1980, ilmuwan dunia memperhatikan peningkatan suhu yang naik sejak tahun tersebut tidak pernah turun lagi.
 
"Dari sinilah ilmuwan kemudian menemukan konsentrasi CO2 menjadi jawaban atas tidak menurunnya temperatur global," kata Erma pada seminar nasional bertajuk Memperkuat Pentahelix Penanggulangan Bencana dalam Membangun Resiliensi Masyarakat dikutip dari laman brin.go.id, Selasa, 4 April 2023.

Erma menggambarkan sejak saat itu manusia tidak berada lagi pada ranah variabilitas iklim melainkan ranah perubahan iklim. Perkiraan pemanasan global sampai dengan Februari 2023 adalah 1,21 derajat celsius.
 
"Dan karena kita ini sudah berada didomain perubahan iklim maka tidak akan pernah ada lagi penurunan dan itulah yang ingin diredam untuk memperlambat laju kenaikannya," papar Doktor Sains Kebumian lulusan ITB tersebut.
 
Dia menyebut setiap wilayah merespons perubahan iklim berbeda-beda. Parameter paling sensitif berubah dan daerah paling sensitif harus dipetakan.
 
"Kami di BRIN melakukan kajian itu sehingga pertama yang ingin kami lihat itu indikasinya kalau ada perubahan iklim berarti ada perubahan di pola musim dan pola cuaca, itu yang ingin kami deteksi, itu yang ingin kami kaji," tutur dia.
 
Selain perubahan musim yang telah terjadi di Indonesia selama dua dekade terakhir, indikasi perubahan iklim juga dapat ditunjukkan dengan pola cuaca yang mengalami perubahan. Sebab, tak lagi sesuai dengan tipe-tipe cuaca berdasarkan musim.
 
Akibatnya, pola cuaca ekstrem berubah. Erma menyebut cuaca ekstrem ditunjukkan melalui frekuensi hujan ekstrem yang kerap terjadi di wilayah Indonesia khususnya Sumsel, Lampung, Jawa bagian barat, dan tengah.
 
Sementara itu, wilayah Jawa bagian timur, Lombok, Bali, NTB, dan NTT hujan ekstrem meningkat selama musim kemarau. Selain itu, cuaca ekstrem mengalami eskalasi skala spasial yang semakin luas dan skala temporal yang lebih panjang.
 
Sehingga membangkitkan kejadian ekstrem (extreme event) di atmosfer sehingga skala dampak yang ditimbulkan menjadi masif dan luas. Erma mengatakan terdapat perbedaan antara cuaca ekstrem dan kejadian ekstrem.
 
Cuaca ekstrem biasanya terjadi untuk skala lokal di suatu wilayah tertentu dan memiliki durasi kejadian singkat, kurang dari sejam atau maksimal sekitar dua hingga tiga jam. Sementara itu, kejadian ekstrem secara waktu lebih lama karena memiliki setidaknya dua ciri, yaitu persisten atau bertahan lama dan sustain atau terus berlanjut.
 
Erma menyebut secara skala spasial pun lebih luas karena mengacu pada gangguan cuaca skala sinoptik dalam rentang skala spasial ratusan hingga ribuan kilometer. Selain itu, dampak merusak dari suatu kejadian ekstrem bersifat katastropik atau massal dapat menelan korban ratusan bahkan ribuan jiwa.
 
Kajian terbaru tim BRIN menunjukkan kejadian ekstrem ini mengalami peningkatan karena faktor-faktor penyebabnya semakin intensif terjadi di Indonesia. Studi menjelaskan mengenai mekanisme terbentuknya cikal bakal bibit Siklon Seroja yang tumbuh dari badai vorteks intensif selama 10 hari di perairan Banda dan berlanjut terus menjadi siklon Seroja dan menelan korban 181 orang meninggal di Flores, NTT, pada 4 April 2021.
 
Mekanisme terbentuknya siklon Seroja ini ditunjukkan dalam studi dari tim BRIN memiliki frekuensi selama dua tahun sekali. Hal ini cukup mengejutkan karena studi sebelumnya mengonfirmasi peluang siklon terbentuk di dekat ekuator hanya 100-400 tahun sekali (Chang, 2003).
 
Kajian dari tim BRIN tersebut dinyatakan diterima pada 1 April 2023 sebagai jurnal international Natural Hazards berjudul: Evolution of Double Vortices Induced Seroja Tropical Cyclogenesis over Flores, Indonesia.
 
Baca juga: BRIN: Musim Hujan di Indonesia Lebih Panjang Dalam 10 Tahun Terakhir

 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan