Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Foto: YouTube
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Foto: YouTube

5 Tantangan Pendidikan Tinggi, Daya Serap Lulusan hingga Regulasi Berubah-ubah

Citra Larasati • 06 November 2024 17:20
Jakarta:  Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro memaparkan lima tantangan dan target yang akan dicapai di masa kepemimpinannya.  Kelima hal tersebut disampaikan saat rapat kerja (raker) antara mendikdasmen, mendiktisaintek, menteri kebudayaan dengan Komisi X DPR, Rabu, 6 November 2024.
 
Kelima tantangan tersebut, kata Satryo, sebenarnya bukan hal baru. Namun diharapkan akan ada percepatan yang dilakukan untuk menaklukkan tantangan tersebut. 

5 Tantangan Pendidikan Tinggi

1. Rendahnya daya serap lulusan perguruan tinggi di industri

Pertama, kata Satryo, adalah kebekerjaan lulusan perguruan tinggi yang relatif masih sangat rendah. Menurutnya, masih terdapat lulusan pegruruan tinggi yang bekerja pada bidang keahlian rendah, serta keterserapan di pasar kerja belum optimal akibat kurangnya kualitas erta taut suai pembelajaran di perguruan tinggi dengan kebutuhan industri. 
 
"Ini bisa terjadi bukan hanya karena tidak relevannya pendidikan tinggi, namun juga karena di satu pihak kita melihat memang lapangan pekerjaan Indonesia itu relatif sangat minim untuk lulusan perguruan tinggi kita," kata Satryo.

2. Pengembangan talenta sains dan teknologi yang minim 

Kedua, kata Satryo, terkait pengembangan talenta sains dan teknologi.  Minimnya perhatian terhadap pengembangan talenta sains dan teknologi. 

Terbatasnya dukungan terhadap pengembangan karier, jaringan, dan kemajuan profesional penghambat individu-individu berbakat untuk mengejar karier di bidang sains dan teknologi.
 
"Ini betul-betul dibutuhkan karena Indonesia Emas 2045 membutuhkan talenta-talenta yang mempunyai daya saing global, yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8 persen," kata Satryo.
 
Selain itu, menurut Satryo, ada faktor kurangnya perhatian terhadap pengembangan sains dan teknologi. "Kita menuju Indonesia Emas 2045, diharapkan PDB kita naik signifikan menjadi negara yang nomor 4 atau 5 besar di dunia, dengan tingkat ekonomi yang pertumbuhannya juga cukup tinggi," terangnya. 
 
Itu, kata Satryo, hanya mungkin tercapai jika memang SDM dibekali dengan kemampuan dalam bidang sains dan teknologi. Penumbuhan dan penguatan budaya ilmiah, scientific culture dalam penelitian dan pengembangan.  Satryo kemudian memberikan ilustrasi, tentang bagaimana budaya ilmiah terbangun di India.
 
Menurut Satryo, jika melihat undang-undang dasar India, ada satu pasal yang menyatakan masyarakat harus mempunyai scientific temper, scientific culture. Di mana itu merupakan suatu kekuatan untuk berpikir ilmiah.
 
"Itu sebabnya India sangat maju dalam hal scientific atau ilmiah ini karena memang mereka itu punya kepercayaan, kan dulu Gandhi yang menetapkan itu, kita harus punya mindset scientific.
Nah, kita juga berharap ke depan Indonesia juga akan maju, kita perlu didukung oleh suatu mindset atau attitude yang ke arah ilmiah," terangnya.

3. Efektivitas dan kualitas pemanfaatan dana penelitian

Ketiga, terkait dengan itu, ada juga hal lain yang perlu diupayakan yaitu efektivitas dan kualitas pemanfaatan dana penelitian.  Terbatasnya anggaran penelitian, sementara pelaksanaan penelitian perguruan tinggi belum berkualitas dan berdampak. 
 
'Karena pengembangan sains dan teknologi tidak mungkin tanpa melalui kegiatan penelitian," terangnya. 

4. Perguruan tinggi yang tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat

Keempat, terputusnya hubungan perguruan tinggi dari kebutuhan masyarakat.  Menurutnya, institusi pendidikan tinggi tidak selalu menyelaraskan kurikulum dan prioritas penelitiannya dengan kebutuhan dan tantangan khusus yang ada di komunitas lokalnya.
 
"Kami akui banyak dari kalangan pendidik itu yang kalau mendidik itu menurut apa yang dia inginkan, bukan apa yang dibutuhkan masyarakat," ujarnya.

5. Regulasi yang berubah-ubah

Kelima, regulasi dan kebijakan yang berubah terlalu cepat.  Ini mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pendidikan nasional.
 
"Misalnya dalam aspek pendanaan, sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum. Jadi kita ke depan juga kita minimalkan terjadinya upaya-upaya perubahan-perubahan yang menghambat perkembangan pendidikan tinggi," paparnya.
 
Bahkan ke depan, pihaknya juga mengupayakan agar pendidikan tinggi itu diregulasi sedemikian rupa untuk memberikan ruang gerak yang inovatif kepada para pengampunya. Ini supaya pendidikan tinggi ke depan itu memang betul bermanfaat untuk pembangunan nasional Indonesia.
 
Baca juga:  Pemerintah Bakal Tuntaskan Antrean Sertifikasi Guru 40 Tahun


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan