Forum Guru Besar ITB menyoroti masalah kesehatan dan transportasi yang mesti diselesaikan pemimpin baru demi mencapai target Indonesia Emas. Hal itu disampaikan dalam Webinar Kontribusi ITB untuk Bangsa Seri Kedua yang digelar Forum Guru Besar ITB.
Prof. Dr. Ir. Tati Latifah Erawati Rajab, Dr. Ir. Sigit Puji Santosa, MSME., Sc.D., Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, D.E.A., dan Prof. Ir. Ade Sjafruddin, M.Sc., Ph.D. Acara dihadiri dosen, mahasiswa, dan tim pemenangan ketiga Calon Presiden RI 2024-2029 secara daring.
Prof. Dr. Ir. Tati Latifah Erawati Rajab mengungkapkan Indonesia termasuk negara dengan layanan dan fasiltas kesehatan yang rendah. Berdasarkan data BPS 2023, Indonesia hanya memiliki layanan kesehatan rumah sakit berjumlah 3.000 dan puskesmas berjumlah 10.000.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI 2023, jumlah dokter per seribu penduduk hanya 0,7 dengan jumlah dokter spesialis kurang dari 0,03. Sementara itu, angka pengidap penyakit utama setiap tahunnya semakin meningkat.
Hal itu dilihat dari klaim BPJS yang mencapai Rp34 triliun pada 2023 atau meningkat 44,4 persen dari 2022. “Indonesia perlu membentuk program realistis, solid, dan integrasi yang berdampak luas dan mendongkrak seluruh sistem,” ujar Tati dikutip dari laman itb.ac.id, Rabu, 31 Januari 2024.
Tati merekomendasikan peningkatkan fasilitas dan layanan kesehatan dengan memberikan tanggung jawab kepada pihak puskesmas untuk dapat melakukan medical check up. Dia mengatakan dengan jumlah puskesmas yang banyak, medical check up dapat memonitor kesehatan masyarakat di 38 provinsi.
Layanan ini dapat dijalankan dengan pemenuhan fasilitas yang dapat dilakukan bertahap, misalnya program lima tahunan menuju Indonesia Emas 2045. Pemenuhan fasilitas juga dapat memanfaatkan produk inovasi dari perguruan tinggi negeri, seperti ITB yang telah membuat produk biomedika, seperti perangkat EKG, NIVA, Elisa, M-Health, CPM, dan masih banyak lagi.
Sementara itu, pada bidang transportasi, masyarakat Indonesia cenderung memilih angkutan pribadi ketimbang angkutan umum. Sehingga, kemacetan di kota-kota besar masih menjadi isu yang belum bisa berangsur baik.
Prof. Ir. Ade Sjafruddin, M.Sc. mengatakan masyarakat lebih memilih angkutan pribadi ketimbang angkutan umum karena terdapat keluhan di beberapa kota Indonesia terkait pelayanan, sarana dan prasarana, kinerja jaringan, tingkat keamanan, dan daya angkut.
“Diperlukan upaya untuk meningkatkan daya tarik angkutan umum di masyarakat,” tutur Ade.
Dia menekankan demi menuju Indonesia Emas diperlukan upaya perubahan paradigma penyelenggaran transportasi di Indonesia. Sistem transportasi berkelanjutan menjadi salah satu faktor penting.
Oleh karena itu, dibutuhkan pembangunan wilayah dan transportasi secara terintegrasi dengan memperhatikan kapasitas lingkungan. Selain itu, mesti ada peningkatan peran angkutan umum dan angkutan tak bermotor (akses sepeda dan pejalan kaki) serta menjadikan sistem transportasi massal berbasis rel menjadi tulang punggung jaringan.
Dr. Ir. Sigit Puji Santosa, MSME., Sc.D. memaparkan terdapat tiga visi Indonesia Emas 2045. Pertama, konektivitas darat diwujudkan dengan penyelesaian ruas utama jalan di seluruh pulau berbasis digital.
Kedua, transportasi perkotaan berbasis rel dan kereta cepat untuk antisipasi megaurban dan urbanisasi di Jawa. Ketiga, sistem transportasi antarpulau melalui transportasi laut dan udara diarahkan untuk mendukung mobilitas penduduk dan distribusi barang antar wilayah.
Sigit mengatakan untuk mencapai tiga visi Indonesia Emas 2045 di bidang transportasi, diperlukan pembentukan Badan Transportasi Nasional yang mengatur regulasi/kebijakan implementasi teknologi mobilitas masa depan. Saat ini, Indonesia masih melibatkan gabungan beberapa lembaga dan kementerian untuk mengurus transportasi negeri.
Dia menyebut dengan pembentukan lembaga khusus di bidang transportasi, Indonesia dapat fokus mengembangkan Connected and Automated Vehicle (CAV) dan integrated transport system dimulai dari bandara, pelabuhan, stasiun, dan kendaraan listrik otonom.
Inovasi di bidang teknologi kesehatan dan transportasi menuju Indonesia Emas 2045 membutuhkan kerja sama multi-stakeholder. Saat ini, tren perusahaan rintisan (startup) dapat menjadi solusi dalam hal inovasi teknologi.
Kedua hal ini berbanding terbalik dengan kondisi Indonesia saat ini. Kebutuhan akan inovasi di bidang teknologi yang semakin tinggi tidak ditunjang dari ketersediaan aspek penyedia inovasi.
Prof. Dr. Ir. Kadarsah Suryadi, D.E.A. menjelaskan angka kewirausahaan masyarakat Indonesia sangat rendah. Berdasarkan data pada 2019, hanya 8,2 juta penduduk Indonesia yang berwirausaha (3,3 persen).
Angka ini tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga. Hal tersebut menyebabkan Indonesia berada di peringkat 75 dari 137 negara berdasarkan kemampuan menghadirkan kewirausahaan.
Kadarsah mengatakan rendahnya angka kewirausahaan di Indonesia juga ditunjang faktor penyediaan pusat pelatihan kewirausahaan. Akibatnya, masih sedikit masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi untuk berwirausaha.
“Kewirausahaan merupakan salah satu skill yang harus dimiliki untuk menciptakan kehidupan yang berkelanjutan,” ujar dia.
Solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan angka kewirausahaan Indonesia yakni dengan penyediaan pusat pelatihan kewirausahaan kepada masyarakat berbasis sains dan teknologi. Sehingga akan semakin banyak startup berbasis digital.
Pemerintah juga dapat kooperatif memberikan kemudahan akses dan penyediaan dana, keringanan pajak, serta insentif untuk berwirausaha dengan hadirnya startup. Selain itu, meningkatkan kerja sama antara peneliti dan sektor industri melalui penyediaan Science and Techno Park sehingga akan semakin banyak inovasi yang lahir untuk pembangunan negeri.
Baca juga: Guru Besar ITB Sebut Pendidikan di Masa Depan Mesti Bebas dan Terbuka |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News