Dua narasumber, KH Wildan Salman dan Prof Dr Mujiburrahman, menekankan perlunya standardisasi keilmuan tanpa menghilangkan kemandirian pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Dalam forum yang dihadiri ulama, pimpinan pesantren, pengajar, dan perwakilan Kementerian Agama itu, kedua narasumber mengingatkan tantangan pesantren kini bukan lagi semata soal sarana, melainkan penguatan otoritas ilmu dan tata kelola kelembagaan.
Wildan Salman, pimpinan Madrasah Darussalam Tahfidz dan Ilmu Al-Qur’an Martapura, menegaskan, keberadaan pesantren tidak dapat dilepaskan dari tradisi kitab kuning. Menurutnya, tradisi tersebut adalah pondasi yang menjaga kesinambungan ilmu Islam dari generasi ke generasi.
“Tanpa kitab kuning, pesantren kehilangan identitas dan sumber legitimasi keilmuannya. Seluruh pemahaman fiqih, ibadah, dan hukum Islam bertumpu pada kitab-kitab tersebut,” ujarnya.
Ia menambahkan, keempat mazhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, bertahan hingga kini bukan semata karena pemikiran mereka, melainkan karena karya-karya ulama mereka terdokumentasi lengkap.
Sertifikasi Guru Pesantren
Wildan juga menyoroti pentingnya ijazah sanad, yaitu legitimasi guru kepada murid untuk meriwayatkan atau mengajar kitab tertentu. Konsep ini, menurutnya, identik dengan gagasan “sertifikasi keilmuan”. Karena itu, wacana sertifikasi guru pesantren tidak harus dianggap sebagai ancaman.“Ulama sejak dulu memberi sertifikasi melalui ijazah. Jika standar disusun pesantren sendiri, sertifikasi justru akan menjaga kualitas, bukan menyingkirkan guru-guru pesantren,” tegasnya.
“Standar kurikulum harus jelas, agar pesantren tidak kehilangan arah,” katanya.
Ia menilai kehadiran Dirjen Pesantren diperlukan untuk menertibkan wilayah ini, namun tetap menempatkan pesantren sebagai subjek utama penyusun standar.
Berbeda dengan Wildan yang menyoroti struktur ilmu, Prof Mujiburrahman, alumnus Pesantren Al-Falah yang pernah menempuh studi di Kanada dan Belanda—menekankan sisi karakter.
“Krisis bangsa kita adalah krisis akhlak. Pesantren, dengan tradisi hidup sederhana dan hubungan guru–santri yang dekat, memiliki modal besar untuk memperbaikinya,” katanya.
Ia mengakui bahwa disiplin akademik Barat sangat ketat, tetapi pesantren memiliki sesuatu yang tidak dapat ditemukan di banyak institusi modern: hubungan keilmuan berlapis generasi melalui sanad dan akhlak berguru yang kuat.
Dalam paparannya, Mujiburrahman menggarisbawahi perlunya sinergi pesantren dan perguruan tinggi. Menurutnya, kampus memiliki peran dalam riset dan metodologi, sementara pesantren menjaga kedalaman tradisi.
Para narasumber sepakat bahwa kemandirian pesantren harus tetap menjadi prinsip utama. Dirjen Pesantren nantinya diharapkan tidak menjadi instrumen kontrol, tetapi wadah pembinaan dan fasilitasi.
“Pesantren telah mandiri jauh sebelum negara berdiri. Penguatan kelembagaan tidak boleh menggerus tradisi itu,” ujar Mujiburrahman.
Selain itu, pemberdayaan ekonomi melalui wakaf produktif juga diusulkan agar pesantren tidak sepenuhnya bergantung pada iuran santri.
Halaqah ditutup dengan kesimpulan bahwa penguatan pesantren harus mencakup tiga pilar:
- Peneguhan otoritas ilmu melalui standarisasi kitab kuning dan sanad;
- Peningkatan mutu SDM melalui sertifikasi yang berbasis tradisi pesantren;
- Kebijakan negara yang memfasilitasi, bukan mendikte.
Baca Juga :
Ditjen Pesantren Segera Dibentuk, UIN Ar-Raniry Gelar Halaqah Nasional Perkuat Kelembagaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id