“Santri harus punya kail, bukan hanya ikan,” kata Pratikno dalam Halaqah Penguatan Kelembagaan Pendirian Direktorat Jenderal Pesantren yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya, dikutip dari siaran pers, Kamis, 13 November 2025.
Pratikno menggambarkan visi pesantren sebagai institusi yang menumbuhkan kemandirian, bukan ketergantungan.
Direktur Pesantren, Basnang Said, menambahkan, kehadiran negara bagi pesantren kini semakin nyata. Ia mengumumkan rencana pembangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny dengan pendanaan dari APBN sebagai simbol kuat dukungan negara.
“Insyaallah, dalam waktu dekat akan dilakukan groundbreaking Pondok Pesantren Al-Khoziny yang pendanaannya bersumber dari APBN,” ujarnya.
Menurut Basnang, dukungan negara terhadap pesantren bukan sekadar bantuan, tetapi tanggung jawab konstitusional. “Kiai dan Nyai datang bukan untuk meminta, tapi untuk mengambil haknya pesantren. Negara wajib hadir untuk itu,” tegasnya mengutip pesan KH. Ma’ruf Amin.
Ia mengingatkan, fondasi pengakuan negara terhadap pesantren telah diletakkan oleh Presiden ke-4 RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang membuka jalan kesetaraan pendidikan melalui program Paket A, B, dan C di bawah Menteri Agama KH. Tholhah Hasan. “Dari sana, santri memperoleh pengakuan formal yang membuka ruang pengabdian lebih luas,” tuturnya.
Basnang menegaskan, berbagai kebijakan seperti penetapan Hari Santri, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, hingga Peraturan Menteri Agama tentang Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) menjadi tonggak kuat pengakuan negara. “Negara tidak mengintervensi, tapi merekognisi. Segala praktik pendidikan di pesantren adalah kekayaan bangsa yang harus dijaga,” ujarnya.
Melalui lahirnya Direktorat Jenderal Pesantren, negara ingin memastikan bahwa pesantren tidak sekadar bertahan, tetapi juga memimpin transformasi pendidikan berbasis nilai. Dari pesantren, lahir generasi yang berakar pada tradisi keilmuan Islam sekaligus terbuka terhadap inovasi.
Pesantren tak lagi sekadar lembaga pendidikan tradisional, melainkan institusi peradaban yang terus menyalakan cahaya ilmu dan moral di tengah dinamika zaman. Pesantren juga bukan lagi dipandang sebagai lembaga pendidikan alternatif, tetapi mitra strategis negara dalam membangun peradaban.
Pandangan itu juga mengemuka dalam acara tersebut. Forum tersebut menjadi momentum penting lahirnya kesadaran kolektif bahwa pesantren bukan hanya bagian dari sistem pendidikan nasional, melainkan penopang utama ketahanan sosial dan spiritual bangsa.
Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar menegaskan, kekuatan pesantren terletak pada kemampuannya menyeimbangkan ilmu dan iman, akal dan adab. “Kalau ingin pesantren terus melahirkan santri yang berkarakter untuk memperkuat bangsa ini, ya dengan ilmu. Dan itu ada di pesantren,” ujarnya.
Menurutnya, ilmu yang sejati tidak pernah berjalan sendiri tanpa kesadaran ilahiah. “Ilmu harus bergandengan dengan bismillah dan khasyatullah. Jangan biarkan ilmu telanjang jalan sendiri,” tegasnya.
Penjaga Moralitas Ilmu
Pesan ini menjadi penegasan bahwa pesantren bukan sekadar penghasil pengetahuan, tetapi juga penjaga moralitas ilmu agar tak kehilangan arah kemanusiaan.Kyai Miftachul menilai, dalam sejarahnya pesantren telah memainkan peran strategis menjaga keseimbangan sosial. “Kalau satu kabinet diisi santri, insyaallah aman. Karena mereka tumbuh dengan ketaatan dan kesadaran bahwa setiap amalnya diawasi Allah,” ujarnya.
Santri, kata Miftachul, adalah penjaga nurani bangsa, taat kepada pemerintah selama tidak diperintahkan kepada kemaksiatan, sekaligus kritis dalam kebenaran.
Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz, mengaitkan eksistensi pesantren dengan tradisi keilmuan Islam sejak masa Rasulullah SAW. Ia menyebut model Ashabus Suffah, para sahabat yang tinggal di serambi masjid untuk belajar dan berkhidmah, sebagai cikal bakal pendidikan pesantren.
“Tradisi itu bertransformasi menjadi sistem pendidikan khas Nusantara yang menumbuhkan santri berilmu, beretika, dan beramal saleh,” ujarnya. Ia menambahkan, nilai-nilai itu kini dirumuskan dalam semangat BERKAH (Berilmu, Etika, Religius, Kreatif, Amal Saleh, dan Hikmah) sebagai paradigma pendidikan pesantren masa kini yang tidak hanya berorientasi pada keilmuan, tapi juga pada keutuhan manusia dan kemaslahatan bangsa.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno menegaskan bahwa pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren merupakan wujud konkret kehadiran negara dalam memperkuat lembaga yang menjadi “detak jantung bangsa” itu.
“Para kiai, ibu nyai, dan jutaan santri yang memilih jalan ilmu serta pengabdian adalah energi moral bangsa ini. Dari pesantren lahir semangat hubbul wathon minal iman (cinta Tanah Air bagian dari iman) yang menjaga Indonesia tetap damai dan toleran,” ujar Pratikno. Ia memaparkan, data Kementerian Agama menunjukkan terdapat lebih dari 42 ribu pesantren dengan 12,5 juta santri di seluruh Indonesia. Angka itu bukan sekadar statistik, tetapi potensi sosial luar biasa untuk memperkokoh persatuan nasional. Namun, Pratikno juga mengingatkan bahwa masih banyak pesantren berjuang dengan keterbatasan infrastruktur, sanitasi, dan gizi santri.
“Tragedi ambruknya bangunan pesantren adalah alarm keras bagi kita semua. Menjaga jiwa adalah maqashid syariah yang utama,” tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id