Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti mengatakan, kegiatan SCKD merupakan upaya Pemerintah memberdayakan anak bangsa di manapun mereka berada untuk ikut bersumbangsih dalam pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Khususnya di ranah pendidikan tinggi.
“Pemberdayaan ilmuwan diaspora ini sudah diinisiasi sejak 2016. Namun, tahun ini acara SCKD menjadi momentum yang baik karena sejalan dengan fokus pemerintah membangun SDM. Kami akan mengarahkan para ilmuwan diaspora pada bidang pembangunan prioritas, termasuk dalam penguatan pendidikan vokasi,” kata Ghufron di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2019.
Mantan wakil menteri kesehatan ini menjelaskan, penyelenggaraan SCKD dari tahun ke tahun selalu mendapat antusiasme tinggi dari para ilmuwan diaspora di berbagai belahan dunia. Namun, hanya mereka yang terpilih dan telah melalui berbagai tahap seleksi akan diundang di SCKD.
Bahkan, bagi para peserta yang pernah mengikuti kegiatan serupa di tahun sebelumnya diseleksi lagi berdasarkan hasil riset atau kerja sama yang sudah dijajaki dengan mitra dalam negeri. “Tahun ini kami juga membuka kesempatan tidak hanya bagi mereka yang sudah menjadi assistant professor atau associate professor, tetapi juga bagi para postdoct yang memiliki potensi. Mereka inilah yang kebanyakan merupakan akademisi muda dari generasi milenial,” terang Ghufron.
Baca: Diaspora Fasilitasi Peningkatan Kompetensi Dosen Bidang Kesehatan
Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) ini memaparkan, kiprah para ilmuwan diaspora sejak 2016 sudah cukup membuahkan hasil yang baik. Tercatat, lebih dari 100 karya ilmiah telah dihasilkan, baik berupa joint publication, joint research, maupun paper lain dalam proceeding dan conference.
Selain itu, ada pula berbagai kerja sama institusi yang sudah terjalin melalui MoU, hingga mobilisasi dosen Indonesia ke perguruan tinggi asal ilmuwan diaspora. Ia berharap dengan banyaknya porsi peserta baru pada SCKD 2019, mampu membuka peluang kolaborasi yang lebih luas bagi para akademisi dalam dan luar negeri.
Para ilmuwan diaspora juga menjadi katalis bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk masuk pada ranking dunia, yakni melalui transfer teknologi dan ilmu pengetahuan.
"Beberapa ilmuwan diaspora juga menjadi visiting professor program Wolrd Class Professor (WCP). Artinya, para ilmuwan diaspora tersebut memiliki kapasitas yang sejajar dengan profesor asing yang berkelas dunia, dan dituntut untuk menghasilkan jurnal Q-1 atau Q-2, dan mereka ini adalah anak bangsa," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News