Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Ali Gufron Mukti, Medcom.id/Ahmad Mustaqim.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Ali Gufron Mukti, Medcom.id/Ahmad Mustaqim.

Diaspora Fasilitasi Peningkatan Kompetensi Dosen Bidang Kesehatan

Ahmad Mustaqim • 13 Maret 2019 16:03
Yogyakarta:  Diaspora Indonesia yang berkarya di University of Nottingham, Inggris memfasilitasi sejumlah profesor dari Inggris untuk memberi pelatihan peningkatan kapasitas dosen bidang kesehatan di Indonesia.  
 
Asisten Profesor di Fakultas Teknik, University of Nottingham, Inggris, Bagus Muljadi mengatakan, pihaknya tengah berupaya membantu meningkatkan kapasitas dan kemampuan dosen bidang kesehatan seperti kedokteran, dan keperawatan di Indonesia. Ada sejumlah profesor yang dikirim, lewat keterlibatan diaspora, untuk mengisi sejumlah pelatihan, terutama tentang pengobatan presisi kepada sejumlah dosen di Indonesia. 
 
Menurut dia, pengobatan presisi ini dibutuhkan dengan mempertimbangkan dua hal, yakni ketepatan medis dan biaya. "Pengobatan yang sifatnya individual itu sangat dibutuhkan saat ini. Tak ada orang memiliki penyakit sama dengan tetangga. (Dengan pengobatan presisi) tidak membuang uang untuk bolak-balik berobat. Pengobatannya lebih tepat," ungkap Bagus di sela-sela Workshop Bimbingan Teknis Dosen Kesehatan Bidang: 'Penanganan Kanker Berbasis Precision Medicine' di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta,  Rabu, 13 Maret 2019. 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), Ali Gufron Mukti mengatakan pengobatan pasien di Indonesia harus segera menyesuaikan dengan era industri 4.0.
 
Baca:  Penelitian Kedokteran Dituntut Manfaatkan Era 4.0
 
Menurut Ghufron, hal itu diperlukan dengan melihat karakteristik kondisi setiap masyarakat atau disebut pengobatan sistem presisi, baik cara praktik maupun obat-obatan.   "Artinya, tidak hanya (sistem) diagnosis yang kita dorong berkembang, tapi juga (pengobatan dengan melihat) karakteristik masing-masing (pasien)," ujar Ghufron. 
 
Ghufron mengatakan, sistem pengobatan itu telah dilakukan, salah satunya di Singapura. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab sejumlah orang di Indonesia memilih berobat di negara tersebut.
 
Ghufron mengakui situasi ini tak bisa langsung dibandingkan dengan Indonesia. Selain jumlah penduduknya lebih besar, kapasitas sumber daya pun masih perlu dikembangkan. 
 
"Pejabat selama ini kalau sakit (berobat) ke Singapura. Ini jadi tantangan. Perlu adanya peningkatan kapasitas sumber daya kesehatan," ujarnya. 
 
Kemenristekdikti, kata dia, terus mendorong inovasi di berbagai bidang untuk menuju revolusi industri 4.0, termasuk di bidang kesehatan. Ia mencontohkan, pengobatan penyakit kanker yang dilakukan di Indonesia selama ini mengacu pada perusahaan produsen obat yang berbeda-beda. 
 
Menurut dia, pengobatan yang baik dilakukan yakni menyesuaikan karakteristik orang yang diobati. Di samping itu, perlu juga adanya pembenahan dari aspek mekanisme jaminan kesehatan bagi warga negara, dalam hal ini Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) Kesehatan. 
 
"Menurut saya, ini harusnya dibenahi dulu. Harusnya tak sulit. Prinsipnya jaminan kesehatan belum dilakukan optimum. Bung Karno pernah menyarikan Pancasila, kalau diperas intinya gotong royong," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini. 
 
"Lalu kebijakan (dibahas) dengan dokter. Inginnya seperti apa. Tolong dibiayai sesuai karakteristik masing-masing. Cuma memang sumber dayanya terbatas," tutup Ghufron.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan