Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Eko Yulianto menjelaskan, tata ruang adalah hal utama untuk menyelamatkan jiwa. Namun sayangnya aturan tata ruang yang termaktub dalam Undang-undang nomer 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang tidak dilaksanakan.
"Tata ruang berbasis risiko bencana belum diimplementasikan, tata ruang berbasis risiko bencana sangat penting selain alat peringatan dini itu sendiri," ujarnya dalam diskusi Pengurangan Risiko Bencana Melalui Teknologi dan Pendidikan Siaga Bencana, di Gedung LIPI, Jakarta Selatan, Rabu, 2 Januari 2019.
Salah satu lokasi yang dinilai rawan bencana adalah di Lembang, Jawa Barat. Pasalnya dalam penelitian ditemukan sebuah penginapan bertingkat yang dibangun di atas garis sesar Lembang.
"Bayangkan ketika bangun di sini (di atas sesar Lembang) dia mendapatkan izin, kalau ada bencana, rumah dia roboh, berhak menuntut kepada pemerintah, karena diizinkan," imbuhnya.
Baca: Riset LIPI Fokus pada Minimalisasi Korban Bencana
Namun ada juga wilayah yang masyarakatnya sudah sadar akan tata kelola ruang huni. Seperti di Mentawai, Sumatera Barat, beberapa rumah direlokasi oleh masyarakat setempat, ke wilayah yang lebih tinggi dari bibir pantai.
"Masyarakat malakukan ini setelah mengalami gempa di 2009, mereka mau memindahkan desanya ke atas sebuah bukit, di belakang dataran pantai, dengan ketinggiannya 42 meter," imbuhnya.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya pemerintah menaati peraturan dalam tata kelola ruang tersebut. "Kita punya peringatan dini, sebaik apapun kalau tata ruang tidak dibenahi tidak akan banyak menyelematkan jiwa," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News