Langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi dan mendeteksi dini jika ada sivitas akademika perguruan tinggi yang terpapar radikalisme. "Hal ini dilakukan guna mengantisipasi agar para pengajar dan pegawai di perguruan tinggi tidak terpapar radikalisme yang dapat mencoreng dunia pendidikan tinggi," ungkap Nasir saat ditemui di Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat, 4 Oktober 2019.
Nasir pun menegaskan, jangan sampai dosen dan pegawai terpapar radikalisme, intoleransi, apalagi terlibat dalam pembuatan bom. Seperti peristiwa yang baru-baru terjadi melibatkan salah satu oknum dosen di Fakultas Manajemen Pembangunan Daerah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB (Institut Pertanian Bogor).
Ia juga meminta agar profiling terhadap dosen dan pegawai yang bekerja di perguruan tinggi segera dilakukan rektor. Dengan adanya pemetaan profil pegawai yang dilakukan dengan baik, maka minimal dapat mencegah masuknya paham radikal.
"Penyebaran paham radikal di lingkungan perguruan tinggi setidaknya dapat diminimalisir," tegas mantan rektor terpilih Universitas Diponegoro (Undip) ini.
Menurut Nasir, peran aktif rektor sangat dibutuhkan agar lingkungan lembaga pendidikan tidak disusupi oleh paham radikal yang nantinya akan disebarkan kepada pelajar yang sedang mencari ilmu di perguruan tinggi.
"Untuk itu kita harus bersama-sama menjaga ketertiban dan keamanan. Jangan sampai terjadi dan anarkis," tandas Nasir.
Sebelumnya, Polisi menetapkan Dosen IPB berinisial AB sebagai tersangka perencana kerusuhan di aksi Mujahid 212 di Jakarta, Sabtu, 28 September 2019. Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama sembilan orang suruhannya.
"Iya, semua sudah jadi tersangka," kata Kepala Biro Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa, 1 Oktober.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News