Indonesia harus siap menghadapi berbagai bahaya bencana alam, seperti gunung meletus, gempa, dan tsunami mengingat lokasinya yang berada di lintasan Cincin Api Pasifik. Indonesia memiliki 127 gunung berapi dan merupakan negara dengan gunung api aktif terbanyak di dunia.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Indonesia menyebut 12 gunung berapi di Indonesia berpotensi mengakibatkan tsunami. Gunung berapi tersebut, yakni Anak Krakatau, Rinjani, Tambora, Rokatenda, Ile Werung-Hobal, Teon, Kie Besi, Gamalama, Gamkonora, Awu, Banua Wuhu, dan Ruang.
“Gunung yang terletak di tengah laut, seperti Gunung Anak Krakatau memiliki potensi tinggi untuk mengakibatkan tsunami vulkanik. Tsunami vulkanik terjadi karena perubahan volume lautan secara tiba-tiba yang diakibatkan oleh letusan gunung berapi,” kata dosen Program Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Mirzam Abdurrahman, dikutip dari laman itb.ac.id, Rabu, 22 Maret 2023.
Mirzam mengungkapkan empat hal yang mungkin mengakibatkan tsunami vulkanik. Pertama, keruntuhan kolom air akibat letusan gunung berapi. Kedua, terbentuknya kaldera akibat letusan gunung berapi yang masif.
Ketiga, longsornya material vulkanik. Keempat, aliran piroklastik secara cepat dari lereng gunung pada saat letusan gunung berapi. Aliran piroklastik ini dapat mendorong air laut sehingga mengakibatkan gelombang yang kuat.
Mirzam mengatakan penyebab pertama dan kedua seringkali menimbulkan tsunami dengan ketinggian ombak besar dan pada umumnya didahului oleh penurunan permukaan air laut. Sementara itu, tsunami yang diakibatkan oleh longsor dan aliran piroklastik menimbulkan tsunami dengan ketinggian ombak lebih kecil.
Namun, tsunami jenis ini dapat menjadi lebih berbahaya karena tidak didahului oleh penurunan permukaan air laut.
Tsunami vulkanik Anak Krakatau pada 2018 di Selat Sunda
Tsunami vulkanik pada 22 Desember 2018 di Selat Sunda merupakan tragedi yang tak terprediksi. Tsunami terjadi tanpa didahului gempa ataupun penurunan muka air laut.Saat ini, metode pengamatan gunung berapi di Indonesia hanya merekam aktivitas seismik dan sinyal-sinyal lain yang diakibatkan oleh kenaikan magma pada gunung. Akibatnya, bencana tsunami non-seismik di Selat Sunda pada 2018 tidak dapat dideteksi dengan metode yang kala itu dimiliki.
Banyak Korban jiwa dan kerusakan masif di daerah terdampak lantaran tidak adanya peringatan bahaya tsunami beberapa menit setelah gelombang pertama.
Tsunami vulkanik diakibatkan oleh keruntuhan tubuh barat Gunung Anak Krakatau yang bahkan membuat pulau Krakatau kehilangan lebih dari 50 persen massanya. Keruntuhan Anak Krakatau pada 2018 merupakan hasil dari proses destabilisasi yang telah terjadi sejak lama.
“Lokasi dan jangkauan dari keruntuhan 2018 mungkin juga ditimbulkan oleh keadaan struktural dari margin kaldera, diskontinuitas struktural internal, dan lokasi dari ketidakstabilan sebelumnya," papar Mizar.
Dia mengatakan sonar laut juga menunjukkan gunung Anak Krakatau berdiri melebar di atas tubuh dinding kaldera yang terbentuk pada 1883 kemungkinan mengakibatkan ketidakstabilan secara gravitasi. Jenis bencana gunung berapi seperti ini sangat sulit untuk diprediksi.
“Jika kelongsoran skala besar terjadi di suatu area vulkanik adalah akibat dari instabilitas jangka panjang dan dapat terjadi tanpa adanya perubahan tipikal dari aktivitas magma gunung berapi, ini berarti fenomena tersebut dapat terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan apa pun,” tutur dia.
Mirzam mengatakan tsunami akibat keruntuhan tersebut mengakibatkan ombak setinggi 80 meter di sekitar Gunung Anak Krakatau. Pada pesisir Banten dan Lampung, ketinggian ombak mencapai 13 meter.
Tsunami ini mengakibatkan 437 korban jiwa, 14.059 korban luka-luka, dan 33.719 orang kehilangan tempat tinggal. Keruntuhan Gunung Anak Krakatau juga menimbulkan erupsi karena longsor yang terjadi mengakibatkan sistem magma kehilangan tekanan.
Erupsi yang terjadi setelah adanya keruntuhan ini memuntahkan material vulkanik yang mengubur bekas longsoran. Mirzam bekerja sama dengan berbagai institusi untuk meneliti keruntuhan tubuh Gunung Anak Krakatau.
Studi ini telah dipublikasikan di jurnal saintifik Nature Communications dengan judul artikel “Submarine landslide megablocks show half of Anak Krakatau island failed on December 2nd, 2018”.
Penulis pertama dari penelitian ini, James E Hunt, mengatakan detail dari rekonstruksi runtuhnya tubuh (Anak Krakatau) adalah kunci untuk memahami mekanisme, waktu, dan aspek-aspek timbulnya tsunami.
"Yang mana esensial untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keruntuhan secara lebih baik dan meningkatkan ketanggapan pengamatan bahaya instabilitas gunung berapi global,” tulis James E Hunt.
Penelitian yang melibatkan 11 institusi ini tidak hanya mengungkap karakterisasi komponen subaerial dari keruntuhan, tetapi juga komponen bawah lautnya. Data bawah laut memegang kunci dari pemahaman keruntuhan Anak Krakatau yang lebih akurat karena pengamatan deposit kelongsoran mampu memberikan metode pengukuran volume keruntuhan dan investigasi proses longsor yang independen.
Peneliti geosains bawah laut senior dari National Oceanographic Centre, UK itu menyebut keruntuhan terjadi setelah beberapa bulan fase aktivitas erupsi yang cukup intens. “Pengamatan kami menunjukkan jika aktivitas ini menjadi pemicu keruntuhan karena peningkatan beban di tubuh bagian barat oleh lava dan material erupsi,” ucap Hunt.
Sehingga, bidang kegagalan yang baru telah terbentuk setidaknya beberapa bulan sebelum keruntuhan terjadi. Hasil pengamatan menunjukkan deposit didominasi material berukuran besar dan angular dengan total volume deposit sebesar 0.214 km3.
Material ini bergerak sejauh 1,5 km dari Anak Krakatau dan naik setinggi 70 m di atas dasar laut. Deposit longsor tersebut sekarang telah terkubur oleh material yang dikeluarkan selama erupsi.
Oleh karena itu, survei kelongsoran dilakukan secepat mungkin sebelum material longsor terkubur oleh material erupsi setelahnya atau dipengaruhi oleh perubahan dinamis laut.
“Longsor itu memicu terjadinya periode vulkanik intensif yang mengakibatkan timbulnya material dengan volume lebih banyak daripada yang hilang saat terjadinya keruntuhan badan, tetapi 90 persen dari material baru itu terdeposit di lepas pantai," papar Hunt.
Dia menyebut perubahan dasar laut yang terjadi pada saat itu menunjukkan lingkungan vulkanik skala besar dapat tetap bersifat sangat dinamis berbulan-bulan setelah terjadinya keruntuhan badan. Hal itu menggambarkan potensi suatu keruntuhan untuk memicu terjadinya aktivitas vulkanik yang dinamis, yang mana mengaburkan bukti dari keruntuhan itu sendiri.
Keruntuhan badan Anak Krakatau pada 2018 dan tsunami yang terjadi adalah satu-satunya peristiwa major island-arc collapse yang berhasil tercatat oleh instrumen modern, teknologi satelit, pemetaan dasar laut resolusi tinggi, dan pengamatan detail dampak tsunami.
“Peristiwa Anak Krakatau karenanya adalah suatu kesempatan unik untuk menganalisa keruntuhan tubuh, menghasilkan tolok ukur akurat untuk menguji solusi pemodelan tsunami," ujar Hunt.
Baca juga: Gunung Anak Krakatau Erupsi Setinggi 500 Meter |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News