belum ada kurikulum yang menjembatani hal tersebut pada level sekolah dasar bahkan sampai sekolah menengah.
Sementara itu, pada jenjang pendidikan tinggi, hanya diajarkan pada beberapa mata kuliah pilihan saja. “Besar harapan kami, proses perdamaian ditanamkan sejak kecil,” kata Eric dalam Diskusi Pojok Bulaksumur dalam rangka sosialisasi kegiatan Seminar Nasional dengan tajuk “Pengalaman Resolusi Konflik dan Perdamaian dalam Konteks Masa Depan Demokrasi Indonesia” dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 29 November 2024.
Sasaran utama pendidikan perdamaian sejak dini adalah calon generasi muda yang akan menjadi agen perdamaian di masa mendatang. Dia menyebut potensi-potensi konflik dapat muncul dari mana saja.
Oleh karena itu, penting mengembangkan media digital selain sebagai sumber konflik, namun juga sumber perdamaian. Ia berharap tantangan-tantangan yang ada terkait hal tersebut dapat melahirkan gagasan-gagasan serta kebijakan-kebijakan baru yang dapat menguatkan perdamaian baik secara nasional maupun internasional.
Eric juga berpendapat mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan sebagai upaya pembentukkan perdamaian, seharusnya dapat diaplikasikan dan tak hanya berakhir di ruang-ruang kelas saja. Hal ini perlu diperkuat dengan adanya peran tokoh masyarakat yang dapat menghubungkan gagasan secara lebih luas kepada masyarakat.
“Setiap orang pun dapat menjadi tokoh, tergantung dengan values apa yang mereka bangun,” kata dia.
Baca juga: Sesal Perang Terbit Sayang |
Sosiolog Arie Sujito menekankan bangsa Indonesia memiliki ruang cukup besar dalam mengelola kemajemukan dalam masyarakat sebagai modalitas. Hal tersebut yang akan menjadi titik tumpu demokrasi, yang dalam prosesnya tentu akan menemukan banyak konflik dari berbagai banyak lapisan dan kepentingan.
Kemudian, dari dinamika yang beragam tersebut, ada pola-pola yang dapat dipelajari. “Dan itu tentu semestinya dapat diolah agar demokrasi tetap baik,” ujar dia.
Arie menekankan dalam upaya pencarian resolusi konflik seharusnya tak boleh ada kekerasan dalam proses penengahan konflik, terlebih pada saat demonstrasi. “Demonstrasi tak seharusnya dijadikan suatu pertentangan namun upaya untuk menyelesaikan masalah,” kata dia.
Sosiolog sekaligus Peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, Lambang Trijono, mengatakan penyebab konflik berkepanjangan di masyarakat biasanya dikarenakan masalah-masalah yang besar dan sulit dihadapi dalam kelompok-kelompok masyarakat. Kemudian, persepsi keliru antara satu sama lain serta adanya kekerasan yang kemudian menimbulkan dendam dan rasa sakit yang terus disimpan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan mereka dari konflik berkepanjangan tersebut ialah dengan melakukan rekonsiliasi di zona damai netral untuk menguraikan persepsi-persepsi salah yang ada pada satu sama lain.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News