Ilustrasi buku. Medcom
Ilustrasi buku. Medcom

Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam

Medcom • 11 Agustus 2023 20:06
Jakarta: Aktivitas sehari-hari tak bisa dipisahkan dengan jual beli. Proses jual beli mendatangkan transaksi antara penjual dan pembeli.
 
Prinsip jual beli dalam Islam telah diatur sebaik mungkin guna menghindari kecurangan atau perselisihan di antara kedua pihak. Maslahat yang dihasilkan dari prinsip ini juga memberikan efek untung dan berkah bagi keduanya.
 
Dilansir dari laman muslim.or.id, jual beli termasuk perbuatan yang diperbolehkan oleh Allah SWT sebagaimana difirmankan sebagai berikut:

Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah: 275).
 
Adapun jual beli sendiri memiliki rukun dan syarat, yakni:

Rukun jual beli

Ada minimal empat rukun jual beli yang dijelaskan oleh ulama, yakni:
  1. Adanya pembeli
  2. Adanya penjual
  3. Adanya barang
  4. Adanya shighah atau ijab qabul
Bersumber dari kitab al-Fiqh al-Muyassar disebutkan, “Rukun jual-beli ada tiga: pihak yang berakad (penjual dan pembeli), ma’qud ‘alaihi (barang), dan shighah. Pihak yang berakad di sini mencakup penjual dan pembeli. Sedangkan ma’qud ‘alaihi adalah barangnya. Dan shighah adalah ijab dan qabul”.
 
Keempat hal ini mutlak sebagai rukun karena tidak akan ada proses jual beli tanpa semua itu. Sementara itu, yang dimaksud shighah adalah ucapan ijab qabul atau cukup dengan perbuatan. Dalam kitab Akhshar al-Mukhtasharat karya Ibnu Balban al-Dimasyqi menyebutkan,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
“Jual-beli sah dengan mu’athah (adanya pertukaran barang antara penjual dan pembeli) dan ijab-qabul”.
 
Mu’athah adalah nama lain dari shighah fi’liyah, dan ijab qabul adalah nama lain dari sighah qauliyah. Dikutip dari kitab al-Iqna karya al-Hajjawi menjelaskan bahwa
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
 
“Jual beli memiliki dua bentuk. Yang pertama adalah shighah qauliyah yang tidak terhitung jenis lafadz-nya, yaitu semua lafadz yang menunjukkan maksud untuk berjual-beli .. Yang kedua adalah dalalah haliyah (yaitu al–mu’athah) yang sah hukumnya baik untuk barang yang sedikit ataupun banyak” (Al Iqna’, 2/56-57).
 
Selain itu, kitab al-Fiqh al-Muyassar juga menjelaskan, “Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh penjual. Semisal dia berkata, “Saya jual barang ini …”. Adapun qabul adalah lafal yang diucapkan oleh pembeli. Contoh dia berkata, “Saya beli barang ini…”. Ini adalah bentuk shighah qauliyah (ucapan). Shighah juga bisa berupa fi’liyah (perbuatan), yaitu dengan mu’athah. Mu’athah adalah serah-terima barang. Contohnya ketika pembeli menyerahkan uang kepada penjual, lalu penjual memberikan barangnya kepada pembeli, tanpa ada perkataan apa-apa”.

Syarat jual beli

Syarat jual beli ada tujuh. Ibnu Balban menjelaskan dalam kitab  Akhshar al-Mukhtasharat, “Dengan memenuhi tujuh syarat: [1] adanya rida antara dua pihak, [2] pelaku jual-beli adalah orang yang diperbolehkan untuk bertransaksi, [3] yang diperjual-belikan adalah harta yang bermanfaat dan mubah (bukan barang haram), [4] harta tersebut dimiliki atau diizinkan untuk diperjual-belikan, [5] harta tersebut bisa dipindahkan kepemilikannya, [6] harta tersebut jelas tidak samar, [7] harganya jelas”.

1. Adanya rida dari kedua belah pihak

Allah SWT berfirman,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
 
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan rida (suka sama-suka) di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. An Nisa: 29).
 
Syaikh Abdullah al-Jibrin mengatakan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Jual-beli harus disertai rida dari kedua pihak. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah perampasan. Jika barang dagangan diambil tanpa keridaan pemiliknya, maka jual-beli seperti ini batal. Karena penjualnya tidak rida.
 
Demikian juga karena penjualnya belum rida dengan harganya. Baik perampasan ini karena pembelinya segera ingin memiliki barangnya … atau karena harga yang ditawarkan terlalu sedikit. Demikian juga, (termasuk jual-beli yang batal) jika pembeli dipaksa untuk membeli. Maka jual-beli seperti ini batal”.

2. Pelaku jual beli adalah orang yang diperbolehkan untuk bertransaksi

Maksud dari syarat ini adalah pelaku jual beli harus berakal sehat dan baligh. Syaikh Abdullah al-Jibrin menyebutkan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat “Pelaku transaksi haruslah orang yang dibolehkan untuk bertransaksi. Baik penjualnya maupun pembelinya. Jika pelakunya orang yang safih (dungu), atau anak kecil, atau orang gila, atau hamba sahaya, maka tidak sah jual-belinya.
 
Namun, dari sisi lain, banyak ulama yang memperbolehkan anak kecil untuk menjual atau membeli pada barang al-muhqarat (bernilai kecil). Anak kecil di bawah 10 tahun atau sekitar itu jika datang kepada Anda dengan membawa 1 atau 5 riyal, lalu ingin membeli sesuatu dari Anda, maka penuhilah.
 
Karena bentuk transaksi yang seperti ini sah berdasarkan ‘urf. Secara umum, bentuk transaksi seperti ini dianggap wajar (dalam ‘urf). Adapun jika anak kecil membawa uang yang banyak seperti 50 atau 100 riyal, maka hukum asalnya ini bukan atas perintah walinya. Yaitu dia mengambil uang dari walinya tanpa izin, sehingga transaksi seperti ini tidak sah.”

3. Barang yang dijual memiliki manfaat dan mubah

Barang yang masuk proses jual beli wajib berupa al-maal (harta). Al-maal di sini maksudnya adalah yang memiliki nilai manfaat dan mubah.
 
Syaikh Abdullah al-Jibrin mengatakan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Barang yang diperjual-belikan haruslah berupa al-maal. Dan al-maal adalah semua yang mengandung manfaat dan mubah. Maka tidak boleh menjual sesuatu yang tidak bermanfaat. Atau, yang bermanfaat namun haram digunakan, seperti khamr. Sebagaimana firman Allah SWT,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
“(Judi dan khamr) mengandung manfaat bagi manusia. Namun dosanya lebih besar dari manfaatnya” (QS. Al Baqarah: 219).
 
Pertimbangan juga untuk barang yang manfaatnya tidak mutlak, seperti anjing. Hewan ini mengandung manfaat untuk menjaga ladang atau berburu, tapi sifatnya khusus untuk orang yang membutuhkan saja.
 
Serta boleh menjual barang yang bermanfaat walaupun haram dimakan. Seperti menjual keledai jinak, manfaatnya termasuk mubah. Dan secara ‘urf, manusia membutuhkannya untuk membawa barang atau untuk ditunggangi. Walaupun memang dia haram dimakan. Namun, memperjual-belikannya boleh”.

4. Barangnya dimiliki atau diizinkan untuk dijual

Hadis riwayat Hakim bin Hizam menyebutkan,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
 
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku, lalu ia memintaku untuk menjual barang yang belum aku miliki. Yaitu saya membelinya dari pasar lalu aku menjual barang tersebut kepadanya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lalu bersabda, “Jangan Engkau menjual barang yang bukan milikmu” (HR. Tirmidzi no. 1232, disahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
 
Dengan begitu barang yang diperjual belikan harus dimiliki terlebih dahulu atau ia miliki orang lain, tapi boleh untuk dijual.
 
Syaikh Abdullah Al-Jibrin  mengatakan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Barang yang dijual harus dimiliki atau diizinkan untuk dijual. Contoh yang tidak memenuhi syarat ini adalah jika seseorang menjual barang yang bukan miliknya.
 
Maka janganlah seseorang menjual kambing milik orang lain, atau rumah milik orang lain, walaupun rumah itu milik ayahnya atau ibunya. Kecuali jika ia dijadikan sebagai wakil dan diizinkan untuk menjualnya. Maka ketika itu ia berposisi sebagai pemilik barangnya”.
 
Namun, syarat yang demikian hanya berlaku bagi barang yang mu’ayyan (spesifik) bukan barang yang maushuf. Syaikh Abdullah al-Jibrin mengatakan,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
“Syarat ini adalah syarat yang dikenal para ulama. Yaitu, penjual berlaku sebagai pemilik barang yang spesifik atau ia wakil dari barang yang spesifik tersebut yang diizinkan untuk menjualnya” (Syarah Akhsharul Mukhtasharat, 25: 10).
 
Misal, “mobil merah milik Pak Prasetyo”. Ini contoh barang yang spesifik. Maka tidak boleh dijual kecuali oleh Pak Prasetyo atau sebagai wakil dari Pak Prasetyo.
 
Sementara itu, menjual barang yang maushuf (hanya disebutkan sifat-sifatnya saja), tidak spesifik, maka tidak harus dimiliki terlebih dahulu. Seperti pada akad salam. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin  menjelaskan,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
 
“Akad salam itu menjual barang yang maushuf fi dzimmah (dideskripsikan sifatnya dengan tempo tertentu). Bedanya dengan sabda Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam: jangan menjual yang belum menjadi milikmu, yang dimaksud dalam hadis ini adalah barang yang sudah ada dan spesifik. Adapun barang yang maushuf fi dzimmah itu tidak spesifik. Oleh karena itu, orang yang menjual dengan akad salam diminta untuk menghadirkan barang yang dideskripsikan tersebut dengan bagaimana pun caranya.” (Syarhul Kafi fi Fiqhil Imam Ahmad, 1: 1274, Asy Syamilah).

5. Berupa barang yang bisa diserahkan

Syaikh Abdullah al-Jibrin mengatakan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Barang yang diperjualbelikan harus bisa diserahkan. Jika tidak bisa diserahkan, maka tidak sah akadnya. Para ulama mencontohkan dengan jual beli unta yang kabur. Secara umum, unta yang kabur itu tidak bisa ditemukan lagi. Terkadang bisa dikejar dengan kuda, namun tidak bisa ditangkap.
 
Andaikan bisa dikejar dengan kuda, biasanya unta akan mengalahkan kudanya. Terkadang unta akan menendangnya sampai terjatuh. Maka para ulama mengatakan: tidak boleh menjual unta yang kabur. Demikian juga menjual budak yang kabur. Karena dia tidak mungkin untuk diserahkan. Demikian juga menjual burung yang terbang di udara”.

6. Barangnya jelas dan tidak samar

Abu Hurairah meriwayatkan hadits yang berbunyi,
 
Syarat dan Rukun Jual Beli dalam Islam
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam melarang jual beli dengan mengundi kerikil dan melarang jual beli gharar” (HR. Muslim no. 1513).
 
Jual beli gharar yaitu jual beli yang mengandung unsur ketidakjelasan. Oleh karena itu barang yang diperjualbelikan harus jelas.
 
Syaikh Abdullah Al-Jibrin  menjelaskan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Barang yang dijual harus bisa dilihat atau jelas sifat-sifatnya. Contoh barang yang bisa dilihat seperti unta, dia bisa dilihat dan diperhatikan. Juga seperti pakaian yang bisa dibolak-balik (untuk dicek). Juga seperti kuali yang bisa diangkat dan diperhatikan (untuk dicek). Juga seperti buku yang bisa dibolak-balik lembarannya dan bisa dikenali. Maka menjual barang-barang seperti ini hukumnya sah setelah dilihat dan dibolak-balik (dicek).
 
Sementara itu, untuk barang yang tidak ada di tempat, wajib hukumnya disebutkan sifat-sifatnya secara detail sehingga tidak meungkin salah atau tertukar.”

7. Harganya Jelas

Syaikh Abdullah Al-Jibrin  menjelaskan dalam kitab Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Harga barang harus diketahui. Karena harga adalah salah satu dari al-‘iwadh (yang ditukarkan dalam jual-beli). Dan al-‘iwadh itu harus jelas bagi kedua pihak. Maka uang yang harus dibayarkan oleh pembeli haruslah jelas”.
 
Hal yang sama diterapkan dalam akad ijarah (sewa-menyewa). Syaikh Abdul Aziz bin Baaz  mengatakan dalam Fatawa Nurun ‘ala al-Darbi, “Pemilik usaha wajib menentukan upah yang jelas. Ia tidak boleh mempekerjakan orang seperti itu yaitu tanpa upah yang jelas. Karena ini akan membawa kepada perselisihan dan permusuhan. Karena ini merupakan bentuk upah yang majhul (tidak jelas), maka tidak diperbolehkan”.
 
Di sisi lain, boleh tidak menyebutkan harga dengan pasti ketika akad, apabila harganya sudah sama-sama diketahui.
 
Syaikh Abdullah Al-Jibrin  menuturkan dalam Syarah Akhshar al-Mukhtasharat, “Contohnya jika ada orang berkata, “Saya ingin beli beberapa kantong ini, tolong ambilkan 10 buah dengan harga yang sama seperti di pasar”. Di sini tidak jelas berapa harganya. Para ulama khilaf tentang jual-beli seperti ini. Namun yang lebih tepat, jual-beli seperti ini boleh jika harganya sudah diketahui secara ‘urf. Ulama yang melarang hal ini mereka mengkhawatirkan termasuk dalam jual beli yang majhul (tidak jelas).”
 
Itulah penjelasan soal syarat dan rukun jual beli dalam Islam. Kedua hal ini berfungsi sebagai pengatur agar mendatangkan kebaikan dan nilai manfaat lebih kepada penjual dan pembeli. Adapun zaman yang terus berkembang bisa jadi menyebabkan fleksibilitas hukum fikih jual beli ke depannya. (Abdurrahman Addakhil)
 
Baca juga: 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam dalam Mata Pelajaran Agama Islam
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan