Berdasarkan data World Health Organization (WHO), angka kematian akibat bunuh diri di Indonesia cukup bervariasi. Mulai dari 30.000 kasus di 2005, lalu turun menjadi 5.000 kasus di 2010, kemudian naik lagi menjadi 10.000 kasus di 2012, lalu turun kembali di 2013 menjadi 8.400 kasus.
"Jumlah tersebut yang terdata, sedangkan yang tidak terdata diduga seperti efek gunung es," kata Dewan Pakar Badan Kesehatan Jiwa (Bakeswa), Nova Riyanti Yusuf, dalam sebuah diskusi memperingati Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, di Universitas Paramadina di Jakarta, Rabu, 10 Oktober 2018.
Dari sejumlah kasus, ternyata alasan bunuh diri para remaja ini pun terhitung sepele. Seperti depresi karena putus cinta, atau mendapat nilai buruk di sekolah.
Baca: Pemerintah Diminta Evaluasi Kurikulum PAUD
Lebih mengejutkan lagi, siswa di sekolah umum memiliki risiko problema emosional lebih tinggi, dari pada siswa sekolah kejuruan. Kondisi ini dapat memicu risiko bunuh diri ysng lebih tinggi juga di kalangan siswa sekolah umum, dibanding siswa kejuruan.
"Risiko problema emosionalnya tiga kali lipat lebih tinggi, dari siswa sekolah kejuruan. Persoalan kejiwaan itu kemudian diselesaikan dengan bunuh diri," sesal anggota DPR RI yang akrab disapa Noriyu ini.
Alumni Harvard Medical School ini menyebutkan, salah satu kasus bunuh diri terjadi pada siswa SMP yang terjun dari apartemennya di Jakarta beberapa waktu lalu. Alasannya karena takut menghadapi ujian bahasa mandarin di sekolah.
Atau siswa SD di Manado, yang bunuh diri karena gagal meraih nilai tertinggi pada 2017 lalu. "Bunuh diri jadi jalan terbaik untuk mengakhiri kekecewaan, dan ini mulai umum dilakukan remaja, gejala ini mulai terlihat di Indonesia," tutup Noriyu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News