Menurut Komisioner KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), Retno Listyarti ada tiga faktor penyebab anak-anak mudah untuk terpapar paham radikal. Faktor utama dari doktrin yang diajarkan temurun dari keluarga, seperti yang terjadi dalam tragedi bom di Surabaya.
Kedua, faktor lingkungan dan pertemanan. Ketiga, narasi dan literasi kebencian yang disebar melalui media sosial. Menurut Retno, anak-anak dengan mudahnya menerima informasi-informasi tersenut dan secara tidak sadar terdoktrin.
Doktrin itupun dapat masuk dengan leluasa ke dalam pikiran, karena dalam kesehariannya mereka tidak biasa dididik kritis terhadap informasi yang diterimanya.
"Yang penting menurut saya, kita harus membenahi dan membangun sistem pendidikan kita, agar mampu mencetak generasi kritis. Yaitu pendidikan dimana anak itu tidak gampang dibodohi dan banyak bertanya," kata Retno dalam konferensi pers tentang Ujian Nasional di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, di Jalan Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat, 19 Mei 2018.
Ketika budaya kritis itu sudah tertanam, anak-anak akan banyak bertanya perihal setiap informasi yang diterimanya, sekalipun itu dari orangtua, guru, maupun orang terdekat lainnya.
"Jadi memang pendidikan ya harus kritis. Pendidikannya bukan dicekokin materi pelajaran saja, sekarang ini kalau murid bertanya saja guru sering marah. Diprotes dikit oleh murid, guru marah. Ya tidak seperti itu untuk membangun daya kritis anak," jelasnya.
Di sisi lain, guru maupun orangtua harus memiliki rujukan literasi yang kaya dan beragam. Sehingga, ketika anak sudah terlanjur terpapar paham radikal, mereka memiliki penangkal dengan rujukan literasi dan narasi yang kontra namun efektif menjawab keraguan anak.
"Mencetak anak yang kritis, tentu gurunya harus kritis dan harus mendidik secara begitu. Gurunya harus punta literasi yang bagus, bacaannya banyak. Sehingga ketika anak bertanya dan terpapar radikalisme, gurunya tuh punya cara mengajak diskusi," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News