"Masalah PPDB ini bukan soal teknis implementasi, tapi sistemnya yang masih belum berkeadilan,” kata Ubaid dalam keterangan tertulis, Senin, 24 Juni 2024.
Menurut Ubaid, sistem yang diterapkan saat ini sangat membingungkan orang tua. Misalnya, mereka yang ikut jalur zonasi, ternyata gagal meski jarak rumah dekat dengan sekolah.
"Kalau bukan jarak rumah ke sekolah, lalu ukurannya apa? Kasus ini tahun ini terjadi di Kota Bogor yang sempat viral minggu lalu. Kejadian ini juga terjadi di daerah-daerah lain," ujar dia.
Hal yang sama terjadi di jalur prestasi. Meski calon peserta didik berprestasi, tapi nyatanya tidak lulus. Kasus ini ditemukan di kota Palembang yang melibatkan tujuh SMAN yang melakukan praktik maladministrasi.
"Jadi, ukurannya apa di jalur ini? Kegagalan di jalur prestasi ini juga menumpuk laporan kekecewaaan di banyak kota-kota lainnya," ungkap dia.
Belum lagi, kata dia, praktik ugal-ugalan di jalur gelap via gratifikasi dan jasa titipan orang dalam. Ini melibatkan banyak pihak dan menguras banyak uang.
"Tahun ini, dilaporakan dugaan adanya kasus ini mulai dari angka Rp2-25 juta terjadi di berbagai daerah,” beber dia.
Uabid menyebut akibat sistem PPDB yang belum berkeadilan pada 2023, jumlah anak tidak sekolah (ATS) masih menggunung. Berdasarkan data BPS 2023, ATS masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen).
JPPI mengestimasi populasi ATS mencapai 3 juta lebih. Ini jumlah yang sangat besar.
“Itu data anak yang dipastikan tidak sekolah dan putus sekolah. Sementara data Kemendikbudristek tahun 2023, ditemukan sejumlah 10.523.879 peserta didik yang terdiskriminasi di sekolah swasta karena harus berbayar,” ujar Ubaid.
Baca juga: PPDB 2024, JPPI Banyak Dapat Aduan Tipu-Tipu Nilai Jalur Prestasi |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News