pentingnya peran keilmuan obstetri dan ginekologi sosial dalam upaya mengurangi angka penderita kanker serviks di Indonesia.
“Mengingat kanker serviks memiliki dampak yang luas, diperlukan regulasi yang lebih tegas, yang mengharuskan perempuan memeriksakan diri secara rutin," kata Junita saat menyampaikan pidato pengukuhan guru besar berjudul “Peran Keilmuan Obstetri dan Ginekologi Sosial terhadap Cakupan Skrining Kanker Serviks di Era Transformasi Kesehatan Indonesia” dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 Agustus 2023.
Junita menuturkan peran keilmuan obstetri dan ginekologi sosial memiliki potensi besar dalam mendukung cakupan skrining kanker serviks. Serta mengurangi dampak luas yang ditimbulkan melalui penyusunan strategi berbasis bukti.
"Kolaborasi antara pemerintah pusat dan daerah, rumah sakit, puskesmas, organisasi profesi, serta masyarakat menjadi sangat penting demi terwujudnya kesehatan dan kualitas hidup yang lebih baik bagi perempuan Indonesia,” ujar Junita.
Junita menyampaikan data dari Profil Kesehatan Indonesia pada 2021 menunjukkan kanker serviks menempati peringkat kedua setelah kanker payudara, yaitu 36.633 kasus atau 17,2 persen dari seluruh kanker pada wanita. Jumlah ini memiliki angka mortalitas tinggi sebanyak 21.003 kematian atau 19,1 persen dari seluruh kematian akibat kanker.
Apabila dibandingkan dengan angka kejadian kanker serviks di Indonesia pada 2008, terjadi peningkatan dua kali lipat. Tingginya angka kejadian kanker serviks di Indonesia dipengaruhi oleh cakupan skrining yang masih rendah.
Hingga 2021, hanya 6,83 persen perempuan usia 30–50 tahun yang menjalani pemeriksaan skrining dengan metode IVA. Pada 2023, cakupan skrining kanker serviks di Indonesia hanya mencapai 7,02 persen dari target 70 persen.
Apabila tidak ditangani dengan efektif, angka kanker serviks meningkat dan menyebabkan beban sosio-ekonomi yang besar serta penurunan kualitas hidup individu. Junita menyebut di tengah tantangan ini, upaya Indonesia dalam percepatan pencegahan kanker serviks berkaitan dengan lima pilar transformasi sistem kesehatan.
Kelima pilat itu, yakni transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM) kesehatan, dan teknologi kesehatan. Kelima pilar ini dapat mendukung dua strategi pencegahan kanker serviks, yaitu pencegahan primer dengan imunisasi vaksin Human Papillomavirus (HPV) dan pencegahan sekunder dengan deteksi dini kanker serviks.
Metode skrining dan pendekatan pencegahan yang inovatif perlu dikembangkan agar lebih efektif, terjangkau, dan mudah diakses. Metode skrining kanker serviks yang digunakan di Indonesia adalah IVA, Pap Smear, dan tes DNA HPV.
Setiap metode memiliki keuntungan dan hambatan masing-masing. Sehingga, perlu diperhatikan yang paling sesuai untuk diimplementasikan di Indonesia.
Junita menjelaskan metode IVA masih menjadi metode skrining pilihan dengan biaya terjangkau dibandingkan dengan tes HPV DNA dan Pap Smear. Namun, kendalanya selain harus melatih tenaga kesehatan, alur tindak lanjut rujukan komprehensif juga harus dibuat untuk hasil yang positif.
Apabila tidak bisa ditatalaksana pada tingkat Faskes 1, pasien harus dirujuk ke rumah sakit dengan alur rujukan yang jelas.
Metode skrining lainnya, tes DNA HPV yang sudah digunakan di beberapa negara maju lebih efektif dalam mendeteksi lesi prakanker. Sensitivitas pemeriksaan DNA HPV sangat tinggi, yaitu 80–98 persen.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang belum terlatih atau pasien secara mandiri/self-sampling. Saat ini, telah dilakukan penelitian untuk mengembangkan pemeriksaan DNA HPV pada urine.
Pemeriksaan dengan sampel urine ini dapat mengakomodasi pasien yang belum terskrining karena berbagai faktor penghambat.
Penerapan pemeriksaan DNA HPV di Indonesia masih terkendala biaya tinggi. Namun, setelah ada pemeriksaan DNA HPV lokal buatan anak bangsa, biaya tes yang awalnya sekitar 600–800 ribu bisa diturunkan hingga 149.850 rupiah. Artinya, untuk memenuhi target capaian 70 persen cakupan skrining kanker serviks pada 2023, diperlukan dana sekitar Rp4 triliun.
Profil Junita Indarti
Prof. Dr. dr. Junita Indarti, Sp.OG(K) menamatkan pendidikan di FKUI untuk Program Pendidikan Dokter pada 1983. Lalu, Program Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi pada 1993 dan Program Studi Doktor S3 Kedokteran pada 2009.Pada 2015, ia menyelesaikan studi di Program Konsultan Obstetri dan Ginekologi Sosial, Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Saat ini, ia menjabat sebagai Kepala Instalasi Pelayanan Rawat Inap Terpadu Gedung A dan aktif di Badan Khusus Pengurus Pusat Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (PP POGI).
Berkat penelitiannya tersebut, Junita dinobatkan sebagai Guru Besar FKUI. Sebelumnya, ia juga telah menulis beberapa penelitian, antara lain Maternal and Neonatal Outcome in Pregnant Women with Chronic Energy Deficiency in Cipto Mangunkusumo General Hospital Indonesia (2023); Efficacy of Polycarbophil Moisturizing Gel in Women with Genitourinary Syndrome of Menopause: A Randomized Control Trial (2023); dan Possible Different Genotypes for Human Papillomavirus Vaccination in Lower Middleincome Countries Towards Cervical Cancer Elimination in 2030: A Cross-Sectional Study (2022).
Baca juga: Guru Besar UI Dorong Transplantasi Ginjal untuk Pengobatan Tahap Akhir: Lebih Murah dan Kualitas Hidup Lebih Baik |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News