Salieg mengaku banyak perbedaan puasa di AS dan Indonesia. Salah satu yang membedakan ialah panjangnya waktu puasa. Tahun ini, puasa mulai 05.20 pagi – 07.30 malam waktu Illinois.
Semakin mendekati awal tahun, semakin pendek harinya. Hal ini karena di AS ada empat musim yang menentukan panjangnya siang hari.
"Saat tahun 2018 saya ke sini (AS), kebetulan itu masih musim panas. Jadi, siang hari lebih panjang daripada malam hari, sahur kira-kira 04.30 pagi dan buka 09.30 malam,” cerita Salieg dikutip dari laman uns.ac.id, Senin, 3 April 2023.
Dosen Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional (HI) FISIP UNS ini juga mengaku suasana Ramadan di Illinois sama sekali tidak terasa. Hanya ada satu masjid yang aktivitasnya tidak sehidup di Indonesia. Bahkan, dia tidak pernah mendengar azan berkumandang dari masjid secara langsung selama hampir 5 tahun terakhir.
“Banyak yang dirindukan dengan suasana Ramadan di Indonesia. Seperti azan dan suara-suara ramainya masjid, suasana tarawih, ramainya anak-anak TPA, undangan-undangan reuni buka bersama, suasana ngabuburit yang ada jajanan di mana-mana dan masakan ibu pastinya. Di sini tidak banyak opsi masakan, sebagian besar hanya menu-menu Amerika dan orang-orang tidak bisa asal jualan di pinggir jalan. Jadi setiap hari harus masak sendiri,” ungkap dia.
Terlebih, sebagai minoritas dia menemui berbagai tantangan saat menjalankan puasa di luar negeri. Salieg berpuasa tanpa orang-orang di sekitarnya tahu.
Meskipun, terkadang ia menyampaikan kalau sedang puasa, tapi kebanyakan dari masyarakat di sana tidak paham arti bulan Ramadan. Namun, teman-temannya paham dengan pluralitas, biasanya juga mengucapkan selamat Ramadan.
Beruntungnya, komunitas Indonesia di DeKalb kebanyakan muslim. Sehingga, mereka bergantian saling mengundang acara buka bersama dengan menu-menu Indonesia.
Selain mengobati kerinduan Tanah Air, Salieg merasa punya keluarga baru. Bahkan, ketika Lebaran selalu ada acara kumpul-kumpul dengan komunitas Indonesia sesama muslim.
“Di Indonesia, muslim menjadi kelompok mayoritas, sedangkan di banyak negara, muslim menjadi minoritas. Kita mendapat banyak privilege yang luar biasa di Indonesia. Sementara di sini dan kebanyakan tempat selain Indonesia, kami yang harus memahami bahwa kami minoritas dan harus memahami situasi di sekitar," ujar dia.
Namun, masih bersyukur AS negara demokratis yang sangat melindungi hak-hak asasi manusia. Jadi, kebebasan beragama, berbicara, dan lain-lain sangat terasa.
"Tidak saling ganggu atau saling turut campur dengan orang atau kelompok lain. Jadi tidak pernah ada yang menyinggung masalah agama satu sama lain. Toleransi sangat terasa,” ujar Salieg.
Baca juga: Pandemi Mereda, Rektor ITS Rindu Buka Puasa di Rumah |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News