Lukisan Laksamana Hayati diberikan kepada ahli waris, Tgk. Cut Putro Safiatuddin Cahaya Alam. DOK indonesia.go.id
Lukisan Laksamana Hayati diberikan kepada ahli waris, Tgk. Cut Putro Safiatuddin Cahaya Alam. DOK indonesia.go.id

Mengenal Malahayati, Laksamana Perempuan Pertama yang Hari Lahirnya Jadi Perayaan Internasional di UNESCO

Renatha Swasty • 04 Desember 2023 10:42
Jakarta: Baru-baru ini UNESCO menetapkan hari lahir Keumalahayati sebagai perayaan internasional. Ini ditetapkan dalam penutupan Sidang Umum ke-42 UNESCO di Paris, Prancis.
 
Keputusan ini mesti disambut gembira seluruh masyarakat Indonesia. Sebab, Keumalahayati merupakan pahlawan perempuan yang turut berjuang mengusir penjajah dari Nusantara.
 
Belum banyak yang mengetahui jejak perjuangan Keumalahayati. Padahal, ada banyak cerita perjuangannya yang inspiratif.

Yuk kita kenalan lebih jauh dengan Keumalahayati dikutip dari indonesia.go.id:
 
Keumalahayati atau biasa dikenal Malahayati merupakan perempuan asli Aceh. Dia lahir pada 1 Januari 1550 dan menjadi satu di antara beberapa singa betina dari Tanah Rencong yang bernyali besar, selain Cut Nyak Dien dan Cut Nyak Meutia yang melawan kolonialisme.
 
Malahayati berasal dari keluarga pengarung samudra berdarah biru. Dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, karya Ismail Sofyan disebutkan ayah Malahayati yakni Laksamana Mahmud Syah adalah Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh.
 
Malahayati adalah cicit dari Sultan Salahuddin Syah, raja kedua di Kesultanan Aceh yang memerintah pada 1530 sampai 1539.
 
Masa remaja Malahayati dihabiskan di lingkungan istana termasuk mengikuti akademi militer matra angkatan laut kesultanan bernama Mahad Baitul Maqdis. Saat berusia 35 tahun atau sekitar 1585, Malahayati dipercaya menjabat Kepala Barisan Pengawal Istana Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah semasa Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil memerintah.
 
Malahayati melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Portugis pertama kali lewat pertempuran di perairan Teluk Haru dekat Selat Malaka pada 1586. Suami Malahayati, Laksamana Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief, yang juga Kepala Pengawal Sultan memimpin pertempuran.
 
Puluhan kapal kayu Kesultanan Aceh berusaha mencegat kapal-kapal perang Portugis. Armada perang Kesultanan Aceh mampu memukul mundur Portugis, namun sayang suami Malahayati gugur dalam pertempuran tersebut.
 
Dia tidak dapat menerima kenyataan tersebut dan berjanji menuntut balas dan meneruskan perjuangan sang suami. Posisi mendiang Laksamana Tuanku Mahmuddin kemudian digantikan oleh Malahayati.
 
Oleh Sultan Riayat Syah, Malahayati diberi pangkat laksamana dan menjadi perempuan pertama di dunia kala itu yang menyandangnya seperti dikutip dari buku Perempuan Keumala.
 
Sebuah rencana besar diungkapkan Malahayati kepada Sultan. Saat itu, dia ingin membangun sebuah armada tempur laut yang seluruh prajuritnya adalah perempuan.

Inong Balee

Malahayati menamakan pasukan elitenya dengan Inong Balee atau prajurit perempuan yang berstatus janda. Jumlahnya tak main-main, mencapai 2.000 orang.
 
Mereka seluruhnya janda dari prajurit yang gugur kala bertempur melawan Portugis. Berbekal kemampuan yang didapat ketika menimba ilmu di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati melatih Inong Balee menjadi pasukan tempur yang disegani.
 
Apalagi kala belajar di Mahad Baitul Maqdis, Malahayati ditempa oleh instruktur-instruktur perang tangguh dari Turki, seperti ditulis dalam Malahayati: Srikandi dari Aceh. Sultan Aceh kemudian mendaulatnya sebagai panglima armada laut alias laksamana dan merupakan perempuan pertama di dunia yang menyandang jabatan itu.
 
Sultan juga membekali pasukan Inong Balee dengan 100 unit kapal perang ukuran besar berkapasitas masing-masing 400 pasukan.
 
Pasukan Inong Balee mulai dilibatkan dalam beberapa peperangan melawan Portugis dan Belanda. Wilayah pertempuran mereka tidak hanya sebatas di perairan Selat Malaka saja, namun juga sampai ke pantai timur Sumatra dan Malaya.
 
Mereka juga membangun Benteng Inong Balee di sebuah perbukitan tak jauh dari pesisir Teluk Lamreh, Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Tempat perlindungan pertama yang seluruhnya dibangun oleh kaum hawa tersebut memiliki tinggi tembok sekitar 100 meter dan cukup aman untuk menahan serangan musuh.
 
Benteng tersebut menjadi koloni pasukan Malahayati sekaligus pusat pelatihan tempur Inong Balee. Pasukan Malahayati juga menjalankan misi khusus yakni mengamankan jalur laut perdagangan kesultanan serta mengawasi pelabuhan-pelabuhan samudra Aceh kala itu.
 
Sampai akhirnya pada 21 Juni 1599, dua kapal Belanda, de Leeuw dan de Leeuwin, berisi pasukan perang dipimpin dua bersaudara, Cornelis dan Frederik de Houtman, ingin bersandar di pelabuhan Aceh Besar.
 
Bumi Serambi Makkah itu menjadi tujuan kesekian dari dua bersaudara de Houtman setelah sebelumnya menyinggahi Banten, Madura, sampai ke Bali untuk berburu rempah-rempah.
 
Hanya saja, mereka selalu menemui perlawanan masyarakat setempat karena tabiat pasukan de Houtman bersaudara yang tak disukai. Hal serupa juga dialami saat mencapai Aceh Besar. Mereka tertahan di atas kapal di tengah laut karena tak dapat izin dari Sultan.
 
Laksamana Malahayati dan pasukan Inong Balee telah menunggu dan bersiaga. Sultan memerintahkan Laksamana Malahayati mengusir dua kapal Belanda tersebut.
 
Pertempuran di tengah laut tak terelakkan. Pasukan Inong Balee berhasil menghancurkan dua kapal dagang itu. Dalam sebuah duel satu lawan satu di atas kapal musuh pada 11 September 1599, Laksamana Malahayati berhadapan dengan Cornelis. Nyawa Cornelis melayang di ujung rencong Malahayati.
 
Sejarawan Marie van C Zeggelan lewat bukunya Oude Glorie yang terbit pada 1935, menyebut Belanda banyak kehilangan pasukan mereka dan sebagian yang masih hidup termasuk Frederik de Houtman dijebloskan ke penjara.

Juru runding

Tak hanya cakap sebagai panglima perang di lautan, Malahayati juga dikenal sebagai juru runding yang piawai. Pemerintah Belanda mengajukan pembebasan tawanan perang mereka yang ditahan pihak Kesultanan Aceh termasuk Frederik de Houtman.
 
Sultan mengutus Malahayati untuk maju ke meja perundingan menghadapi Belanda. Sebuah syarat diajukannya, yaitu Belanda harus membayar ganti rugi atas peperangan yang mereka timbulkan demi membebaskan prajurit-prajurit yang dipenjara.
 
Malahayati juga dipercaya menerima utusan khusus Ratu Elizabeth I bernama James Lancaster yang juga seorang saudagar dagang besar pada masanya. Lancaster mengunjungi Aceh pada 5 Juni 1602 memakai kapalnya, Red Dragon.
 
Dia mengutarakan maksud kepada Malahayati untuk membeli rempah-rempah Aceh, seperti halnya saat mengunjungi Maluku dan Banten. Misi itu berlangsung sukses karena Malahayati setuju dengan tawaran yang disampaikan Lancaster bahwa mereka hanya ingin berdagang dan bukan berperang.
 
Malahayati wafat pada 1615 dan dimakamkan di dekat bentengnya di Desa Lamreh, Krueng Raya.
 
Presiden Joko Widodo menetapkan Malahayati sebagai Pahlawan Nasional pada 9 November 2017 berdasarkan Keputusan Presiden RI nomor 115/TK/Tahun 2017.
 
Nama Malahayati juga disematkan sebagai nama salah satu kapal perang TNI-Angkatan Laut (AL). Tak cuma itu, namanya juga dijadikan sebagai nama pelabuhan di Desa Lamreh Krueng Raya, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.
 
Pelabuhan Malahayati yang dimulai sejak masa Sultan Iskandar Muda, sebelum 1970 digunakan sebagai pelabuhan transit. Lalu, sempat dialihfungsikan menjadi tempat persinggahan kapal dan menjadi mangkrak pascatragedi tsunami 2004.
 
Pada 2007, Pelabuhan Malahayati kembali beroperasi untuk mengangkut produk ekspor asal Aceh ke kawasan Eropa dan Timur Tengah.
 
Nah, itulah cerita perjuangan Malahayati yang tidak takut melawan penjajah. Semoga cerita ini bisa menginspirasi Sobat Medcom tidak takut melakukan hal-hal positif yaa.
 
Baca juga: UNESCO Tetapkan Hari Lahir 2 Pahlawan Indonesia Sebagai Perayaan Internasional

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan