Ilustrasi beras. MI/Susanto
Ilustrasi beras. MI/Susanto

Harga Beras Naik, Pakar Unair Dukung Diet Paleo

Renatha Swasty • 13 Maret 2024 22:12
Jakarta: Beras merupakan salah satu komoditas pangan utama yang memegang peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sayangnya, kini harga beras terus merangkak naik.
 
Pakar Paleoantropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga (Unair), Toetik Koesbardiati, mengatakan beras memiliki makna simbolis dan nilai budaya yang mendalam. Fenomena mahalnya harga beras dapat mencerminkan dinamika sosial yang kompleks di masyarakat.
 
Toetik menyebut ketergantungan akan bahan pokok beras menjadi semacam nilai bahwa jika tidak makan beras sama halnya dengan ketidakmampuan ekonomi.

“Beras tampaknya menduduki tingkat paling tinggi dalam urutan bahan pokok karbohidrat. Sehingga jenis penggunaan dan pengelolaan pun mencerminkan kelas sosial,” tutur dia dikutip dari laman unair.ac.id, Rabu, 13 Maret 2024.
 
Toetik menuturkan sejarah domestikasi makanan pokok mencatat biji-bijian, seperti gandum, sorgum, jewawut, dan jagung telah dikenal sejak zaman kuno dengan kultivasi awal dilakukan oleh masyarakat Mesir dan Mesoamerika. Sementara itu, padi, sebagai sumber karbohidrat utama, didomestikasi di mainland Asia, terutama China, Thailand, dan Vietnam sekitar 10-11 ribu tahun lalu.
 
Pengaruh dari budaya Austronesia yang menyebar dari Asia Timur, termasuk melalui Taiwan dan Filipina. Dari sini, pengetahuan tentang kultivasi padi menyebar ke seluruh wilayah Indonesia.
 
Masyarakat Austronesia juga membawa pengaruh tanaman karbohidrat lain seperti jagung dan biji-bijian lain.
 
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan jenis sumber makanan karbohidrat non beras seperti sagu dan umbi-umbian.
 
“Maka perlu diapresiasi ketika sekelompok etnis menyerukan kembali konsep paleo diet, yaitu mengadaptasi pola makan manusia pada zaman dulu tanpa harus  memerlukan beras. Bisa dengan pengelolaan bahan minim lemak, tanpa harus digoreng maupun proses memasak yang lama seperti biji-bijian dan umbi-umbian,” papar dia.
 
Guru Besar FISIP Unair itu mengungkapkan konsumsi beras dalam sejarah Indonesia mencerminkan upaya menuju swasembada beras yang sering menjadi fokus pembangunan jangka panjang. Meskipun berhasil beberapa kali, pencapaian swasembada tidak berlangsung lama.
 
Beras juga menjadi simbol hubungan sosial, menjadi simpati di masa duka dan kompensasi dalam konteks administrasi negara. Ketergantungan pada beras menciptakan rasa tidak nyaman bila persediaan berkurang.
 
Hal ini tercermin dalam ungkapan “mencari sesuap nasi”. Oleh karena itu, dia memahami kepanikan atas kenaikan harga beras.
 
Sekalipun kesadaran memanfaatkan bahan pokok alternatif selain beras sudah banyak didengungkan, namun kesadaran untuk memanfaatkan bahan pokok pengganti beras tampaknya kurang diminati.
 
Baca juga: Harga Beras Diharapkan Segera Terkendali Sebelum Lebaran

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan