PTN, kata dia, diberikan ruang untuk menyesuaikan biaya operasional yang akhirnya berdampak pada mahalnya UKT. Permasalahan ini kata dia akan terus merambat pada terhalangnya mencetak generasi untuk Indonesia Emas 2045.
"Ini adalah ironi besar, mengingat pemerintah sering menyuarakan ambisi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi. Jika akses ke pendidikan tinggi dibatasi oleh faktor ekonomi, bagaimana mungkin kita dapat mencapai cita-cita tersebut?," ujar dia dalam keterangannya, Kamis 23 Mei 2024.
Di samping itu pernyataan dari Kemendikbudristek yang menyebut pendidikan tinggi bersifat tersier dan tidak wajib tak kalah menyedihkan. Sebab pernyataan tersebut dapat diartikan sebagai sikap pemerintah yang seolah-olah lepas tangan.
"Pemerintah seolah lepas tangan terhadap nasib mereka (mahasiswa) yang tidak memiliki biaya tetapi ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi," ungkap dia.
Lebih lanjut, ia pun turut menyinggung besaran anggaran pendidikan dalam APBN. Menurutnya, pemerintah seharusnya mampu mengelola dan mendistribusikan dana tersebut dengan bijaksana untuk mendukung pendidikan tinggi yang terjangkau bagi semua kalangan.
"Kami mendesak Kemendikbudristek untuk melakukan pengawasan ketat terhadap implementasi regulasi terkait biaya operasional pendidikan di perguruan tinggi negeri dan memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan mahasiswa," pungkasnya.
Baca juga: Jangan Salah Paham, Pendidikan Tersier dan Kebutuhan Tersier Beda Makna
|
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News