Permintaan tersebut disampaikannya ketika menghadiri Lokakarya Nasional bertajuk “Peluang dan Tantangan Tenaga Kerja Terampil Indonesia untuk Bekerja di Luar Negeri: Kesiapan, Standar Kompetensi, Perlindungan dan Strategi Kolaborasi Lintas Sektoral”, Sabtu 20 Desember 2025, di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), Depok, Jawa Barat. “Kita ingin menunjukkan kualitas SDM Indonesia sejajar dengan SDM negara maju. Pendidikan kita harus mampu melahirkan lulusan yang kompeten, profesional, dan percaya diri,” ucapnya.
Brian menekankan arah kebijakan penguatan vokasi dilandasi upaya menaikkan kelas kualitas pendidikan dan kompetensi tenaga kerja nasional. Pendidikan tinggi vokasi dinilai memiliki posisi strategis karena kedekatannya dengan kebutuhan industri dan dunia kerja.
“Konteksnya adalah bagaimana pendidikan tinggi Indonesia, khususnya pendidikan tinggi vokasi, mampu membuktikan kualitasnya di tingkat global,” ungkap Brian dalam keterangannya dikutip Minggu, 21 Desember 2025.
Ia menyoroti pentingnya pembelajaran berbasis praktik baik (best practices), penguasaan bahasa dan komunikasi, sertifikasi kompetensi yang kredibel, serta penguatan jejaring dengan mitra industri dan pemangku kepentingan terkait. "Langkah ini penting untuk memastikan lulusan pendidikan tinggi vokasi memiliki kesiapan yang matang dan berkelanjutan,” katanya.
Lokakarya yang diinisiasi oleh Forum Direktur Politeknik Negeri se-Indonesia (FDPNI) ini menggaris-bawahi beberapa poin penting, dalam menjawab peluang dan tantangan lulusan pendidikan tinggi vokasi dalam menembus pasar kerja global. "Politeknik itu institusi pencetak skilled labor, yang siap bersaing dengan talenta dari negara lain seperti India atau China. Jadi bukan pilihan kedua," tegas Brian.
Untuk itu harus dipastikan potensi skill gap yang terjadi antara Indonesia dengan dunia global dapat diatasi. "Konteksnya bukan karena lowongan kerja di dalam negeri terbatas, tapi mempersiapkan SDM unggul yang mumpuni sampai ke tingkat dunia,” kata Brian.
Lokakarya ini sedikitnya mencatat tiga masalah utama yang dihadapi lulusan pendidikan tinggi untuk bersaing di pasar kerja global. Pertama, kurikulum yang harus relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Kedua, pergeseran dari expert specialist menuju expert generalist supaya tidak tergantikan oleh robotika. Dan yang ketiga masa tunggu dari lulus sampai mendapatkan pekerjaan.
Menurut Dekan fakultas vokasi UMM Malang, Tulus Winarsunu untuk kawasan Asia, masa tunggu di Indonesia masih terbilang lama. Dibandingkan Jepang misalnya, lulusan politeknik bisa langsung mendapatkan pekerjaan.
“Kita masa tunggunya paling lama. Akibatnya banyak sarjana kita yang masih menganggur. Masa tunggu ini mengakibatkan terjadinya mismacth vertikal dan mismatch horizontal,” kata Tulus.
Mismatch vertikal adalah ketidak-sesuaian antara gaji dengan ijazah tinggi yang dimiliki. Sedangkan mismatch horizontal adalah ketidak-sesuaian antara disiplin ilmu dengan jenis pekerjaan.
“Jangan sampai kita mensuplai apa yang tidak dibutuhkan pasar kerja. Kurikulum vokasi yang benar adalah kurikulum yang didikte oleh kebutuhan pasar dunia, bukan hanya daftar keinginan dosen di kelas,” kata Tulus.
Pada bagian lain, Brian Yuliarto mengangsurkan komitmennya untuk mendukung sepenuhnya pendidikan vokasi. Menurutnya, regulasi akan mengikuti kebutuhan pasar, bukan sebaliknya.
Sertifikasi yang merupakan syarat fundamental guna memasuki pasar kerja global, akan dimaksimalkan supaya bisa dilakukan di dalam negeri. Langkah menuju pasar kerja global melalui politeknik, menurut Brian, harus dilakukan secara profesional dan bermartabat.
“Kita terbangkan putra-putri terbaik bangsa di bidang terapan ke seluruh dunia. Di sana mereka mendapatkan pengalaman, value. Ketika kita mau membangun industri strategis, mereka kita panggil pulang. Itu yang saya namakan brain circulation. Dan itu harus disiapkan oleh pendidikan tinggi vokasi,” kata Brian.
Senada dengan itu, kalangan swasta yang diwakili oleh Said Saleh Alwaini yang mewakili Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Apjati), memastikan SDM unggul dari Indonesia berpeluang besar untuk berkarir di luar negeri.
“Negara-negara seperti Jepang, Korea, Eropa dan TImur Tengah selalu kekurangan tenaga kerja kompeten dari Indonesia. Selain sertifikasi yang tadi disinggung, kendala bahasa juga harus menjadi concern kita bersama,” kata Said.
Berdasarkan pengalamannya, peluang dan permintaan tenaga kerja terampil lulusan program diploma dari lulusan politeknik dan sekolah vokasi masih sangat tinggi.
Sementara itu Ketua FDPNI Ahyar M Dyah menyampaikan, Politeknik Negeri se- Indoensia sudah menjalin kerja sama dengan beberapa negara dalam pemenuhan tenaga terampil. FDPNI pun siap mendukung penuh upaya mempersiapkan lulusan dari pendidikan tinggi vokasi untuk dapat bekerja menembus pasar kerja global dan mengawal keberlanjutan program tersebut sebagai bagian dari transformasi pendidikan tinggi vokasi di Indonesia
Turut hadir pada lokakarya kali ini juga Devriel Sogia, S.T., M.M selaku Direktur Pemetaan Pasar Kerja Luar Negeri mewakili Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News