"PPDB tanpa mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi yang mendera masyarakat Indonesia, khususnya rakyat kecil. Untuk makan saja, mereka tak tercukupi, apalagi untuk bayar pendaftaran sekolah, uang gedung, dan juga kuota internet untuk mengawal proses PPDB. Ini sungguh kami menilai sebagai kebijakan yang tidak manusiawi," kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam keterangannya, Senin, 8 Juni 2020.
Pernyataan ini disampaikan Ubaid bukan tanpa sebab. Sepanjang pandemi ini, JPPI mendapat banjir pengaduan dari masyarakat terkait rencana pemerintah untuk membuka kembali sekolah, juga soal memaksakan PPDB dan dimulainya tahun ajaran baru bulan Juli mendatang.
Dari semua pengaduan yang terkumpul, hanya ada 24 persen yang setuju dengan PPDB dan tahun ajaran baru pada Juli 2020. Sisanya, sebanyak 59 persen setuju diundur sampai situasi pandemi berakhir, dan sebesar 17 persen bahkan setuju tahun ajaran baru diundur hingga Januari 2021.
"Ini menunjukkan bahwa masyarakat memang masih belum siap untuk menghadapi tahun ajaran baru," tegasnya.
Baca juga: Kemendikbud Pastikan Hati-hati Membuka Sekolah di Zona Hijau
Dari data yang dihimpun, kata Ubaid, salah satunya karena orang tua terkendala ekonomi karena terdampak covid. Banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang tua saat PPDB.
Karena pada kenyataannya proses PPDB tetap berbayar, apalagi di jenjang SMA/SMK/MA, dan juga sekolah-sekolah swasta. "Ini sangat memberatkan orang tua. Biaya SPP semester kemarin saja banyak yang nunggak, apalagi harus bayar untuk PPDB tahun ini," tegas Ubaid.
Alasan yang banyak diungkapkan orang tua adalah, pelaksanaan PPDB online atau daring yang tidak akan berjalan efektif. Pada situasi normal saja, seperti pada tahun- sebelumnya, PPDB daring menuai banyak masalah, apalagi sekarang di situasi pandemi, tentu sangat tidak efektif.
"Tahun lalu, PPDB online saja harus ngantri datang ke sekolah dari subuh untuk bisa memasukkan data, bagaimana dengan sekarang? Kemungkinan besar kekacauan akan kembali terulang," ujarnya.
Kemudian alasan yang paling banyak diungkapkan, orang tua khawatir putra putrinya terpapar covid-19 karena pandemi belum usai. Ini dihawatirkan oleh orang tua karena anak-anaknya berpeluang besar terpapar covid-19 jika sampai beberapa sekolah di zona hijau menetapkan kebijakan untuk membuka kegiatan tatap muka.
Sebab banyak sekolah yang belum siap menerapkan protokol kesehatan penanganan covid-19 karena keterbatasan sarana dan juga sumber daya. Pertimbangan lain adalah, pembelajaran online yang selama tiga bulan pandemi ini tidak berjalan optimal.
"Selama pandemi, pemebelajaran dilakukan di rumah dengan menggunakan cara online. Ini berjalan tidak efektif, karena keterbatasan sarana dan juga akses," tandas Ubaid.
Belum lagi soal kesiapan guru dan tenaga kependidikan. Saat ini banyak guru dan tenaga kependidikan yang juga terdampak covid 19. Banyak di antara mereka yang terkendala dalam memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran.
"Tentu saja jika ini dipaksakan, pembelajaran tidak akan optimal," tegas Ubaid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News