Orang tua, tante, hingga paman Galih berprofesi sebagai guru. Keluarganya juga sangat ingin Galih bisa menjadi guru.
Sekeras apa pun Galih menghindar, jalan hidupnya justru terus mendekat ke dunia pendidikan. Hingga akhirnya Galih bekerja sebagai pendidik di lembaga pendidikan yang menekuni bidang STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics).
Galih bergabung ketika sedang menunggu jadwal wisuda di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Lulusan Program Studi Sarjana Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) itu menangani anak-anak yang mahir berbahasa Inggris dengan kurikulum berstandar Amerika Serikat.
Mereka berlatar dari ekonomi kelas menengah atas. Dari pengalamannya mengajar di sejumlah sekolah-sekolah elite taraf internasional Jakarta inilah yang memunculkan keresahan Galih atas timpangnya kualitas pendidikan anak-anak lain yang tak mendapat akses setara.
Melihat timpangnya kualitas pendidikan, literasi, dan pedagogi kritis telah menjadi pergumulan yang mendorongnya untuk ingin menimba ilmu kembali.
“Saya disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan. Mungkin ini jadi salah satu dosa besar pendidik di zaman dulu gitu ya,” ujar Galih dikutip dari laman LPDP Kemenkeu, Selasa, 28 November 2023.
Galih berkomitmen mendalami perencanaan dan kebijakan terkait pendidikan yang dapat bermuara tidak hanya pada perkembangan anak didik, tetapi juga laju pertumbuhan ekonomi negara.
Keinginannya untuk mengambil studi S2 pun muncul. Awalnya, rencana itu sempat dinilai sebagai mimpi yang ketinggian.
“Sarjana pendidikan ya ngajar di sekolah. Jadi guru PNS!” kenang Galih menirukan tanggapan keluarganya sendiri.
Galih mafhum dengan anggapan tersebut. Dia justru semakin ingin membuktikan menjadi guru SD sekalipun dibutuhkan bekal pengetahuan yang banyak sekali.
Dia memutuskan melanjutkan pendidikan S-2 ke luar negeri. Galih mengambil Education Planning, Economics and International Development di University College London (UCL) melalui beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Galih menilai pendidikan memiliki interseksi dengan banyak hal, seperti kesehatan, perdamaian, keadilan sosial, ekonomi, hingga pemenuhan hak asasi manusia.
“Jadi, sudah kepikiran apa yang mau dilakukan, sehingga sepertinya itu yang kemudian memudahkan juga jalan untuk bisa diterima beasiswa LPDP,” ujar Galih yang tergabung dalam angkatan PK-122 Samudraraksa ini.
Setahun setelah tamat mengenyam ilmu, Galih pulang ke Tanah Air. Kini, dia menjadi guru di SD Petojo Utara, Jakarta Pusat.
Kuliah S2 buka wawasan Galih
Galih memulai kuliah di London pada 2018. Dia mengakui pengalaman bekerja di sekolah internasional membuatnya kagum dengan pendidikan Barat sebagai metode yang adiluhung. Namun, dia justru menemukan perspektif baru saat berada di Inggris, yang notabene masih dunia Barat.Galih diajarkan tentang kontekstualisasi. Setiap negara memiliki masalah sendiri yang tentunya terdapat perbedaan formulasi penanganannya.
“Sebenarnya tidak adil untuk kita membandingkan setiap negara. Tapi kalau saya boleh cerita apa sih yang kemudian membuat pendidikan di Inggris misalnya itu lebih maju daripada pendidikan kita di Indonesia,” ujar Galih.
Jawabnya, adalah literasi. Membaca buku adalah kegiatan yang tak asing lagi dan sudah menjadi budaya masyarakat Inggris.
Dia menemukan mudahnya mendapatkan buku di ruang publik sebagai sumber pengetahuan. Banyak orang tua yang juga mempunyai tradisi membaca di rumah dengan anak-anaknya.
“Karena mereka sudah terbiasa baca buku, mereka sudah terbiasa melihat kalau kita baca buku kan baik itu fiksi atau non-fiksi, kita membaca kalimat, kita terpapar dengan banyak vocabularies, kosa kata, dan kita terpapar juga dengan berbagai sudut pandang” tutur Galih.
Kekayaan informasi dan wawasan dari membaca buku ini membantu anak-anak berpendidikan di Inggris mudah berargumen di muka umum. Hal ini sebenarnya cocok dengan kurikulum Merdeka Belajar di Indonesia.
Di Merdeka Belajar, terdapat Profil Pelajar Pancasila yang salah satunya terdapat dimensi bernalar kritis. Artinya, karakter nalar kritis ini diharapkan ada di anak-anak Indonesia.
Masalahnya, bagaimana bisa menghasilkan karakter bernalar kritis pada anak didik apabila dari pendidiknya belum berada di level setara. Hal-hal ini pula yang sebenarnya tidak bisa didapatkan hanya dengan mengajar. Perlu kemauan mandiri untuk terus mengembangkan diri dan membaca buku.
“Bernalar kritis itu erat hubungannya dengan literasi. Guru-guru juga perlu punya literatur yang banyak, perlu punya perbandingan teori pendidikan, metode pendidikan, dan sebagainya yang mana menurut saya, bukannya S1 itu tidak cukup, tapi ketika kita punya pengalaman S2. Di sana kita belajar untuk bisa memformulasikan opini” ujar Galih.
Galih mengatakan tingginya wawasan dan pengetahuan guru juga bisa dipakai untuk memahami dan mengenalkan kepada anak didik terkait emosi dan kekerasan. Galih melihat fenomena bullying, diskriminasi, dan kekerasan anak terjadi dan kian parah bermuara dari gagalnya mengidentifikasi dan mengenalkan permasalahan tersebut.
“Jadi, pertama mengenali dan mengidentifikasi emosi, lalu yang kedua, bagaimana kemudian mengolah emosi, khususnya emosi-emosi negatif, itu seperti apa. Dan yang ketiga, saya juga mengenalkan jenis-jenis kekerasan. Sehingga juga mereka paham bahwa tidak semua candaan yang mereka anggap lucu itu dianggap lucu oleh orang lain, bisa jadi itu menyakitkan. Dan itu ada hubungannya juga dengan regulasi emosi,” beber Galih dalam menerapkan pendidikan di kelasnya.
Inisiator Bekal Pendidik
Pergulatan Galih memikirkan pedagogi di Indonesia dilampiaskan dengan membentuk komunitas bernama Bekal Pendidik yang menargetkan calon guru atau guru-guru muda sejawat.Bekal Pendidik muncul di masa pandemi saat perjumpaan daring sedang marak. Sejumlah praktisi pendidikan tercatat pernah diundang Galih untuk diajak berdiskusi mulai dari pejabat Kemendikbud, dosen, antropolog, dan lainnya.
Bekal Pendidik juga berkembang sebagai platform mentorship beasiswa khusus untuk rekan-rekan dari jurusan S-1 Pendidikan yang juga ingin melanjutkan ke S-2 Pendidikan.
“Seperti paradigma tentang Merdeka Belajar itu seperti apa, filosofi-filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara itu bagaimana dan banyak sekali teori maupun metode pendidikan yang menurut saya justru saya pelajari itu bukan di Indonesia. Itu jadi satu kekhawatiran dan keresahan yang menurut saya menggugah untuk bisa saya tularkan ke teman-teman calon pendidik,” ujar Galih.
Kini, Bekal Pendidik menjadi wadah kawan sejawat untuk mengaktualisasi diri, mengulik isu-isu pendidikan terkini, dan lebih-lebih bisa didengar oleh pemangku kebijakan.
Galih juga berkontribusi pada penyusunan modul pendidikan dasar. Menjadi guru SD sejak 2020, ia tercatat menjadi penulis modul peningkatan pengajaran literasi numerasi untuk Program Organisasi Penggerak Kemendikbudristek, penyusun Capaian Pembelajaran Bahasa Inggris, dan beberapa program lainnya lagi.
Buku wajib pendidik
Galih Sulistyaningra juga membagikan lima buku-buku pendidikan favoritnya. Buku ini sangat memengaruhi pikiran dan wawasannya.Kelima buku itu, yakni Pendidikan Kaum Tertindas karya Paulo Freire, Sekolah Apa Ini karya para praktisi pendidikan, Sekolah itu Candu karya Roem Topatimasang, Melawan Setan Bermata Runcing karya Butet Manurung dan rekannya, dan terakhir Educated karya Tara Westover.
Pendidikan Kaum Tertindas dipilih sebagai buku pengantar wajib untuk menyelami kekeliruan gaya pendidikan yang ternyata juga terjadi di Indonesia. Freire mengurai dan mengkritik tentang pendidikan “gaya bank” yang seharusnya ditanggalkan oleh pendidik kiwari.
Sederhananya, pendidikan gaya bank adalah istilah yang merujuk pada gejala atau kondisi di mana guru menganggap anak didik datang dengan kepala kosong atau bodoh. Atas dasar asumsi ini, guru melakukan proses transfer informasi ke peserta yang dianggap objek pasif, disamakan seperti ketika menyimpan uang di rekening bank kosong.
“Saya itu disadarkan kalau ternyata kita itu selama belajar di sekolah, ada satu gaya belajar yang seharusnya tidak dilakukan. Mungkin ini jadi salah satu dosa besar pendidik di zaman dulu gitu ya. Pendidikan gaya bank,” ujar Galih yang mengidolakan Ki Hajar Dewantara ini.
Dampak dari pendidikan gaya bank ini membuat murid terhambat atau bahkan tertutup untuk mengeluarkan potensi lain yang sangat mungkin dimilikinya. Ruang geraknya menjadi terbatas dan bisa membunuh kreativitasnya di masa depan.
Buku berjudul Sekolah itu Candu juga sangat tepat dibaca oleh pendidik. Buku ini membahas tentang pendidikan alternatif yang mungkin secara gaya belajar berbeda dengan pendidikan arus utama di sekolah-sekolah. Buku ini dinilai Galih sebagai terjemahan paling baik dari kurikulum Merdeka Belajar.
Baca juga: Beasiswa Ubah Hidup Raeni, Anak Tukang Becak yang Kini Punya Banyak Kesempatan |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News