Betapa tidak, keputusan mengakhiri hidup diduga akibat tak mampu menghadapi ujian salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit.
Berkaca dari kasus tersebut, Psikolog Novita Tandry menilai poin yang bisa diambil dari peristiwa tersebut adalah tentang pentingnya orang tua dan sekolah menanamkan daya juang pada anak.
"Ilmu yang sebenarnya untuk melengkapi anak sejak kecil. Karena di masa remaja ini usia masa tuai. Apa yang kita sudah tabur di masa dini, usia 14-15 masa tuai, karakter sudah terbentuk," ujarnya, dalam Newsline, Jumat, 24 Mei 2018.
Sayangnya, kata Novita, budaya timur khususnya di Indonesia, pendidikan karakter seperti daya juang tidak diberikan kepada anak. Sejak kecil, terutama pada anak-anak generasi alfa pendidikan karakter seperti daya juang digantikan oleh teknologi.
"Anak yang sudah terpapar teknologi belajar dengan instan. Semua bisa didapatkan dengan akses, dengan dua jari saja. Padahal daya juang ini yang perlu diberikan kepada anak," ungkapnya.
Menurut Novita, pendidikan karakter daya juang tak perlu muluk-muluk. Bisa dimulai dengan menggunakan sepatu atau kaus kaki tanpa dibantu orang tua.
Anak-anak dapat diajarkan bagaimana mengurus diri sendiri. Ketika anak-anak mampu menolong diri sendiri mereka akan dengan mampu menjalani tahap kehidupan berikutnya, paling mudah ketika jenjang sekolah semakin tinggi dengan tingkat kesulitan yang mengikuti, anak akan menghadapinya.
Kata kuncinya, tambah dia, hanyalah contoh. Teladan dari orang tua dan lingkungan di sekitarnya sebab anak-anak adalah peniru ulung. Orang tua yang memiliki daya juang, anak-anak akan mengikutinya.
"Saat anak dari kecil nilai mata pelajarannya bagus begitu pekerjaan rumah semakin banyak dan sulit tapi tidak diberikan daya juang yang tinggi, mereka akan menyerah. Tujuan satu-satunya, mengakhiri hidupnya," jelas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News