Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Indrayanti, menjelaskan hustle culture merupakan istilah yang berkembang dari workaholic. Indrayanti menyebut ada tuntutan pekerjaan yang harus direspons profesional dan kualitas tinggi agar tidak dinilai buruk yang pada akhirnya tidak memiliki waktu untuk diri sendiri atau keluarga.
Akhirnya, kondisi ini berkembang menjadi toxic productivity. Kondisi ini bisa terjadi pada siapa pun tidak hanya di dunia kerja, tetapi juga di dunia pendidikan.
“Melihat kondisi kerja yang situasinya pada workaholic akhirnya kepikiran, ada racun di pikiran. Jangan-jangan yang disebut produktif yang harus kerja keras, lembur, dan akan merasa bersalah bila enggak kayak gitu,” papar dia dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 4 Januari 2022.
Indrayanti mengatakan situasi yang terjadi pada tiap-tiap individu kemudian menjadi fenomena yang dilihat di lingkungan sehingga menjadi gaya hidup atau budaya. Pada akhirnya, generasi muda menjadi berpikir tentang produktivitas seperti yang kebanyakan terlihat yakni kerja keras dan terus melakukannya supaya tidak merasa tertinggal.
“Kalau orang lain kayak gitu berarti produktif itu yang kerja keras, lembur sampai malam, bawa laptop sampai tiga. Jika tidak melakukan hal seperti itu lantas menjadi insecure,” tutur dia.
Dia mengatakan hustle culture telah menjadi fenomena gaya hidup di mana pemikiran hidup untuk bekerja dan mendedikasikan kehidupan untuk bekerja sementara hal lain dikesampingkan. “Hustle culture itu mindsetnya kita hidup untuk kerja yang lain entar dulu. Bukan kerja untuk hidup,” tutur dosen Fakultas Psikologi UGM ini.
Indrayanti menyebutkan seringkali orang tidak menyadari telah terseret dalam arus hustle culture karena telah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari. Ada ciri-ciri yang bisa dikenali dari hustle culture.
Salah satunya, terus memikirkan pekerjaan di setiap waktu dan tempat. Sehingga, terjadi ketidakseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi.
“Tidak sempat untuk memikirkan kebahagiaan sendiri, worklife balance-nya tidak ada,” ucap dia.
Selain itu, merespons kondisi fisik dan psikis dengan standar dirinya. Misalnya, merasa ada sensasi fisik dalam dirinya, seperti pusing, sakit perut, tidak enak badan yang sering dikeluhkan karena pekerjaan terlalu berat.
Sedangkan, secara mental merasa kurang percaya diri dan insecure. Jarang merasa puas terhadap yang telah dikerjakan, merasa masih ada yang salah, dan harus terus bekerja agar sempurna.
“Dalam pikiran itu harus keras bekerja, bukan bekerja keras dengan startegi. Ambisius untuk terus aktif sehingga tidak peka dengan sinyal-sinyal dalam tubuhnya hingga saat banyak stresor masuk tubuhnya ambruk, stres, burnout, terjadi kelelahan psikologis,” tutur dia.
Indrayanti menjelaskan hustle culture kian populer seiring dengan berkembangnya media sosial. Kebanyakan orang membagikan pencapaian melalui media sosial yang semakin memupuk perasaan insecure dan membandingkan diri dengan orang lain.
“Penyebab menjadi hustle culture ini karena melihat orang lain. Apalagi dengan medsos, orang posting prestasi di medsos jadi mudah membandingkan diri dengan orang lain. Dampaknya ke isu kesehatan mental," papar dia
Dia menyebut untuk menyikapi hustle cuture, generasi muda perlu tetap terkoneksi riil dengan lingkungan dan berkolaborasi. Sehingga, langkah tersebut bisa membuka pikiran masing-masing dan mengetahui bila fenomena yang terjadi tidak hanya dihadapi diri sendiri tetapi juga oleh orang lain.
Sehingga, perasaan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain bisa ditekan dan mencari solusi dengan berkolaborasi untuk kebermanfaatan masyarakat dan bangsa.
Baca juga: Mengenal Fenomena Hustle Culture dan Dampaknya |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News