Kampus IPB. Foto: IPB/Humas
Kampus IPB. Foto: IPB/Humas

Soal Daging Rekayasa, Ini Tanggapan Dosen IPB University

Citra Larasati • 25 Maret 2023 10:11
Jakarta:  Kebutuhan manusia akan protein hewani meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk bumi.  Teknologi daging rekayasa yang dibuat dalam skala laboratorium telah dikembangkan untuk mengatasi permasalahan stok protein hewani.
 
Konsumsi daging tanpa harus mengorbankan nyawa hewan ternak kini tidak terdengar mustahil lagi. Walau demikian, kehadiran teknologi ini menimbulkan pro dan kontra.
 
Dosen IPB University dari Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), Dr-ing Aziz Boing Sitanggang menjelaskan, pengembangan daging rekayasa ini dilatar belakangi oleh area lahan peternakan yang semakin sempit dan stok daging yang menipis. Sebelumnya, daging alternatif berbasis tanaman menjadi salah satu pilihan masyarakat.

Namun cita rasa dan nutrisi daging alternatif ini memang belum bisa mengalahkan daging aslinya. Tidak semua orang juga cocok mengonsumsi daging alternatif ini.
 
“Di tahun 2050, konsumsi daging akan mengalami peningkatan hingga 60 sampai 80 persen karena melonjaknya angka populasi dunia. Tindakan antisipasi mulai dilakukan, salah satunya pengembangan daging rekayasa atau lab grown meat,” terangnya dalam keterangan IPB, Sabtu, 26 Maret 2023.
 
Menurutnya, pengembangan daging rekayasa ini juga dilatarbelakangi oleh gerakan organisasi antipemanasan global dan gerakan pecinta hewan. Pengambilan sel hidup dari hewan ternak sudah cukup untuk membuat daging tanpa harus membunuhnya.
 
“Dalam pembuatan lab grown meat ini kita ambil satu sel hidup dari hewan ternak lalu kita biakkan menjadi sel lain kemudian dimasukkan ke bioreaktor dengan media pertumbuhan yang nantinya akan menjadi daging,” lanjutnya.
 
Menariknya, selain dapat mengurangi jumlah penyembelihan hewan, pengembangan teknologi ini dapat mengurangi jejak karbon, kerusakan lingkungan, peningkatan sustainability.  Namun, kata dia, kualitas daging rekayasa akan tergantung dari fasilitas dan besarnya rektor.
 
Usia daging rekayasa juga kurang tahan lama dan modal pembuatannya masih tergolong mahal. “Sampai saat ini, daging rekayasa masih berbentuk daging giling, pengolahannya memiliki keterbatasan sehingga hanya lebih cocok sebagai patty burger. Cita rasanya juga tidak dapat sama persis seperti daging konvensional. Hal ini akibat perbedaan kandungan lemak yang memberikan cita rasa dan tekstur pada daging,” ujarnya.
 
Ia mengungkapkan, pengembangan daging rekayasa terus didorong.  Mulai dari media pertumbuhan yang dibuat lebih murah dan beragam bentuk daging baru seperti steak.
 
Hanya saja, diperlukan formula dasar dan pengembangan yang tepat.  “Untuk konsumsi daging rekayasa secara masif di Indonesia saya rasa masih cukup lama karena sumber daya alam kita masih cukup tinggi. Kebiasaan konsumsi masyarakat lokal juga sulit diubah karena latar belakang budaya,” lanjutnya.
 
Menurutnya, masih banyak pertimbangan komersial yang perlu dikaji ketika ingin mentransisikan daging konvensional ke daging rekayasa. Masyarakat pun tidak perlu khawatir terhadap pengembangan daging ini.
 
Ia meyakinkan, pembuatan daging rekayasa pasti akan melewati serangkaian uji toksisitas dan melewati berbagai persyaratan dan regulasi.  “Masyarakat tidak perlu antipati terhadap pengembangan teknologi alternatif seperti daging rekayasa karena tentu akan memberikan manfaat tertentu,” tutupnya. 
 
Baca juga:  Sekolah Pascasarjana IPB Jajaki Peluang Kerja Sama dengan University of Reading
 
Baca juga:  IPB Kampus Terbaik di Asia Tenggara Versi QS WUR by Subject Agriculture and Forestry

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan