Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez
Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo. Medcom.id/Fachri Audhia Hafiez

Tak Cuma Faktor Yuridis, Ini Kata Dosen UII yang Sebabkan Vonis Hukuman Mati Ferdy Sambo

Renatha Swasty • 16 Februari 2023 14:29
Jakarta: Vonis hukuman mati terhadap Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo menarik perhatian masyarakat. Hukuman itu lebih berat dari tuntutan jaksa yang meminta Ferdy Sambo dihukum seumur hidup.
 
Pengajar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Ari Wibowo, menjelaskan vonis hukuman mati terhadap Ferdy Sambo tidak semata-mata berdasarkan faktor yuridis (hukum) saja. Namun, juga faktor non-yuridis, seperti keadaan diri terdakwa, akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana, cara terdakwa melakukan tindak pidana, keadaan korban tindak pidana, dan lain sebagainya.
 
“Faktor non-yuridis inilah yang paling banyak memengaruhi hakim dalam menentukan bobot pidana yang dijatuhkan. Hakim akhirnya memilih menjatuhkan pidana mati bukan pidana lainnya karena melihat faktor non-yuridis sebagaimana dicantumkan dalam alasan-alasan yang memperberat,” jelas Ari dikutip dari laman uii.ac.id, Kamis, 16 Februari 2023.

Adapun dalam putusannya, Majelis Hakim menyebut hal-hal yang memberatkan hukuman Ferdy Sambo ialah kedudukan Ferdy Sambo sebagai Kadiv Propam Polri, korban adalah ajudan yang telah mengabdi selama tiga tahun, perbuatan Ferdy Sambo mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban, dan perbuatan Ferdy Sambo menimbulkan keresahan bagi masyarakat luas.
 
“Majelis hakim menganggap tidak ada alasan-alasan yang memperingan, sehingga wajar jika hakim mengganjar dengan pidana mati,” kata Ari.
 
Dia menuturkan dalam suatu putusan, paling tidak hakim akan mempertimbangkan tiga kepentingan sekaligus, yaitu terdakwa sendiri, korban, dan masyarakat. Ari mengatakan tindak pidana yang relatif ringan atau sedang biasanya hakim masih mempertimbangkan kepentingan terdakwa untuk memperbaikinya (rehabilitasi).
 
Sementara itu, untuk tindak pidana berat, hakim lebih cenderung mempertimbangkan kepentingan korban dan masyarakat (general deterrence). Dalam putusan Ferdy Sambo, kata dia, hakim jelas menganggap perbuatannya merupakan tindak pidana berat.
 
Sehingga, vonis yang dijatuhkan cenderung berpihak kepada kepentingan korban dan masyarakat. Selain itu, penjatuhan pidana mati menunjukkan hakim cenderung menggunakan teori tujuan pemidanaan retributif atau pembalasan (quia peccatum) dengan berpandangan perbuatan Ferdy Sambo yang sangat keji dan tidak manusiawi patut diganjar dengan pidana setimpal (talio beginsel).
 
Sedangkan, secara teoritis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sanksi pidana dirumuskan dengan pola antara, yaitu ada rentang minimal dan maksimal.
 
“Pidana minimal (straf minima) untuk semua tindak pidana adalah sama, sementara pidana maksimalnya (straf maksima) masing-masing tindak pidana berbeda. Inilah yang dikenal dengan sistem pidana minimum umum-maksimum khusus,” papar dia.
 
Ari menyebut salah satu perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum terhadap Ferdy Sambo adalah tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP. Ancaman pidana maksimal berupa pidana penjara 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.
 
“Sementara itu, pidana minimal untuk semua tindak pidana adalah satu hari. Di sini, secara yuridis hakim diberikan kewenangan untuk menjatuhkan pidana di antara rentang satu hari penjara sampai dengan pidana maksimal tersebut,” ujar Ari.
 
Baca juga: Ferdy Sambo Divonis Mati, Begini Proses dan Tata Cara Hukuman Mati di Indonesia

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan