Heri mengatakan pemikiran tokoh dan pahlawan nasional ini penting digali dan dicarikan relevansinya bagi kondisi kekinian. Hal itu untuk kepentingan pendidikan sehingga bisa mendorong kajian yang lebih banyak tentang filsafat nusantara.
“Kita perlu melakukan penggalian lebih mendalam,” ujar Heri dalam Simposium Nasional Filsafat Nusantara bertajuk “Pemikir dan Pemikiran Filsafat Nusantara serta Kontribusinya bagi Dunia” yang digelar Fakultas Filsafat UGM dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 29 November 2023.
Heri menyampaikan eksplorasi kekayaan filsafat dan kearifan lokal nusantara bisa dilakukan penggalian secara geografis. Hal ini dengan kategorisasi wilayah berdasarkan eksplorasi filsafat dan kearifan lokal masyarakat dari rumpun Melayu, Sunda, Jawa, Bali, Lombok, Bugis, Dayak, Ternate Tidore, dan Papua.
Sehingga, bisa dijadikan representasi kekayaan filsafat dan budaya Nusantara. “Eksplorasi juga dapat dilakukan melalui penggalian filsafat dan kearifan lokal yang terkandung dalam budaya, religi dan agama yang telah berkembang di nusantara, dari zaman dulu hingga saat ini,” papar dia.
Eksplorasi juga dapat dilakukan melalui pendekatan filsafat umum atau melalui cabang-cabang kefilsafatan. Seperti filsafat hidup, metafisika, epistemologi, kosmologi, filsafat ketuhanan, antropologi, etika, dan estetika.
Penulis dan budayawan, Irfan Afifi, menilai falsafah masyarakat Indonesia sebenarnya bukanlah filsafat seperti yang ada dalam tradisi Barat. Melainkan, semacam pandangan hidup masyarakat lokal Indonesia yang bertahan hingga sekarang.
“Falsafah model inilah, barangkali yang dulu diklaim sebagai bahan yang digali oleh Soekarno dalam melahirkan Pancasila. Falsafah atau pandangan dunia ini tidak pernah terpisah dengan pandangan dunia agama yang ada di Indonesia,” kata dia.
Guru Besar Fakultas Filsafat UGM, Lasiyo, mengatakan semboyan Bineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa merupakan salah satu dari hasil penggalian dari kajian filsafat nusantara yang dulunya merupakan salah satu paham yang berkembang di era kerajaan Majapahit. Falsafah ini pada waktu itu dikembangkan untuk mengatasi munculnya keragaman dan fanatisme agama di kalangan umat Hindu dan Buddha.
“Sekarang ini lewat semboyan itu kita diajak bersatu dalam pengabdian pada negara,” kata dia.
Dosen Filsafat UGM, Rizal Mustansyir, menuturkan filsafat nusantara merupakan segala warisan pemikiran asli yang terdapat dalam adat-istiadat dan kebudayaan semua kelompok etnik di Nusantara. Hasil pemikiran itu muncul dalam berbagai bentuk, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Pujangga Jawa dan karya tulis lainnya dari tokoh pada masa Pra-Kemerdekaan seperti Ranggawarsita, Mangkunegara IV, Sosrokartono, Raja Ali Haji dan Syekh Ahmad Khatib al- Minangkabawi.
Rektor ISI Padang Panjang, Sumatera Barat, Febri Yulika, menyampaikan salah satu hasil pemikiran tokoh feminisme dari tanah Minang yang perlu digali lebih mendalam adalah Rahma El-Yunusiyah yang hidup pada 1900-1969. Rahman memperjuangkan soal hak-hak kaum perempuan tanpa menghapus kewajiban perempuan sebagai ibu rumah tangga, keterampilan memasak dan menjahit.
Melalui pendidikan, Rahma mengelola sekolah madrasah pada 1923. “Ia mendorong meningkatkan derajat kaum perempuan lewat pengetahuan umum, agama, dan Bahasa Arab yang disesuaikan dengan karakter kewanitaannya,” papar dia.
Baca juga: Keren! Dosen UGM Juara 2 Nasional Young Scientist Award |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News