Kesulitan itu mesti ia hadapi lantaran sebagai penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa belum mendapat fasilitas layanan pendidikan. Pengalaman itu dia bayar setelah lulus sekolah dengan menjadi penyuluh penghayat kepercayaan Marapu.
"Karena pengalaman yang kami alami SD-SMA enggak pernah dapat layanan pendidikan Marapu padahal keseharian kami selalu menjalankan ritual-ritual Marapu jadi dari situ kami jadi penyuluh, itu menjadi kerinduan kami," kata Arman saat berbincang usai gelar wicara bertajuk “Cerita dari Tanah Marapu: Praktik Baik Penyelenggaraan Pendidikan Kepercayaan di Kabupaten Sumba Timur” di Kampung Raja Prailiu, Kecamatan Kambera, Kabupaten Sumba Timur, Rabu, 24 Mei 2023.
Mulanya, Arman merupakan anggota Badan Penghayat Marapu di desanya di Sumba Timur. Dia lalu dijembatani oleh Marungga Foundation dan Sumba Integrated Development (SID) yang bekerja sama dengan Kemendikbudristek dan Inspektorat Kepercayaan Masyarakat Adat menjadi penyuluh.
Sebelum itu, dia mesti mengikuti bimbingan teknis (bimtek) dan mendapat sertifikat sebagai penyuluh. Kini, dia menjadi punyuluh di SDN Nari, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur. Dia mengajar kelas 1-6 SD dengan total 17 anak.
Kini, sudah berjalan 10 bulan Arman sebagai penyuluh penghayat Marapu. Dia mengajarkan konsep ketuhanan, martabat spiritual, budipekerti, hingga larangan dan kewajiban di kepercayaan Marapu.
Arman mengajar dengan buku cetak dari Kemendikbudristek. Namun, tak menutup kemungkinan dia membawa anak didiknya melihat ritual yang dijalani penghayat Marapu sebagai tambahan pelajaran.
Dia mengakui menjadi penyuluh tak mudah. Tak sedikit pula penyuluh Marapu lain berguguran setelah mengajar satu semester.
Kepala Sekolah SDN Wainggai, Ngabi Kahewanarak, mengungkapkan dua penyuluh Marapu di sekolahnya mengundurkan diri. Padahal, ada 35 anak yang mesti diajar mendapat pelajaran Marapu.
"Itu kelas 1-6 SD, dulu ada 51 orang tapi yang lain pindah agama jadi tinggal 35," beber dia.
Hal yang sama terjadi di SMAN 1 Haharu, Temu, Kanatang, Sumba Timur. Sebanyak 12 anak kelas X dan XI tidak lagi bisa mendapat pelajaran Marapu lantaran penyuluhnya mengundurkan diri setelah mengajar satu semester.
Alasan penyuluh mengundurkan diri beragam mulai dari rumah yang jauh dari sekolah, kegiatan lain, hingga kurangnya uang transportasi.
Penyuluh memang mendapat uang transportasi sebesar Rp300 ribu perbulan. Mereka juga mendapat tambahan dana dari sekolah maupun Marungga Foundation. Namun, angka itu dirasa kurang cukup.
"Kami usulkan kalau bisa dicari penyuluh yang memiliki keterpanggilan mengajar anak-anak dari hidup mereka," kata guru bidang kesiswaan SMAN 1 Haharu.
Arman sendiri tak ambil pusing dengan tantangan yang ia hadapi sebagai penyuluh. Dia merasa sangat senang hanya dengan melihat anak didiknya sudah semakin pecaya diri dengan kepercayaan yang dianut.
"Anak-anak sudah mengakui dirinya saya Marapu, tidak lagi takut juga timbul rasa pecaya diri naik," kata Arman bangga.
Tak cuma Arman sebagai penyuluh, Siswi Kelas XI SMA 1 Rindi Umalulu, Sumba Timur, Linsey, juga sangat senang bisa mendapat pelajaran Marapu. Dia akhirnya dapat memahami lebih dalam ritual-ritual di Marapu setelah selama ini hanya mengikuti tanpa pengetahun lebih.
"Senang, bersyukur sudah dapat pelajaran penghayat kepercayaan Marapu. Sekarang jadi lebih parah," beber Linsey.
Baca juga: Dukung Penghayat Kepercayaan, 6 Sekolah di Sumba Timur Sediakan Mapel Marapu |
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News