Rektor IPB Arif Satria. DOK Kemendikbudristek
Rektor IPB Arif Satria. DOK Kemendikbudristek

Rektor IPB Bicara Pentingnya Penguatan Resiliensi Pangan untuk Atasi Krisis Global di T20 Summit

Renatha Swasty • 05 September 2022 16:28
Jakarta: Rektor IPB University Arif Satria menyebut dunia tengah dihadapkan pada masalah global. Sekitar 768 juta jiwa di dunia yang mengalami kelaparan pada 2021, meningkat sekitar 46 juta jiwa dari 2020. 
 
Data Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan ada dua miliar orang mengalami masalah gizi dan 150 juta anak mengalami stunting. Arif mengungkapkan hal itu pada T20 Summit: Strengthening the Role of the G20 to Navigate the Current Global Dynamics. 
 
Arif menjadi pembicara kunci dengan topik “Building the Future of Global Food System: Opportunities and Challenges”. Forum dihadiri Nutrition President Unilever, Hanneke Faber, Chief Economist FAO, Maximo Torero, dan Profesor University of London, Corinna Hawkes. 
Arif juga menyampaikan dampak krisis global terhadap pangan.

“The Global Report on Food Crisis (2021) menunjukkan sekitar 193 juta jiwa di 53 negara terdampak disrupsi global yang dipicu oleh perubahan iklim, pandemi covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina,” tutur Arif dalam keterangan tertulis, Senin, 5 September 2022.
 
Arif menyebut Rusia dan Ukraina memproduksi hampir 30 persen gandum yang diperdagangkan di dunia. Sehingga, konflik kedua negara ini telah mengganggu ekspor gandum, jagung, dan barley di dunia. 
 
Sebagian besar pasokan pupuk dunia terperangkap di Rusia dan Belarus. Akibatnya, harga pangan dan pupuk melonjak, memengaruhi sektor pertanian di seluruh dunia.
 
Arif menawarkan 10 agenda meningkatkan resiliensi pangan untuk mengatasi ancaman krisis global. Pertama, intensifikasi dan pendampingan petani. 
 
Kedua, restorasi ekosistem dan tambahan ketersediaan lahan. FAO menyebutkan pada 2030 perlu 5,4 miliar hektare lahan pertanian, di mana saat ini hanya tersedia 5,1 miliar hektare. Ketiga, sistem pangan berbasis komunitas.
 
“Keempat, diversifikasi pangan lokal sehingga masyarakat tidak tergantung hanya pada satu produk saja seperti beras atau gandum. Banyak alternatif untuk substitusi impor seperti pangan dari sagu, sorghum, singkong, dan lainnya,” ujar dia.
 
Kelima, peningkatan konsumsi protein hewani, baik ikan dan daging untuk peningkatan kualitas gizi. Keenam, inovasi untuk industri pangan lokal. Terkait hal ini, menurutnya produk pangan lokal perlu diproduksi dengan peningkatan nilai tambah dan kandungan gizi melalui industri.
 
“Ketujuh, pengembangan sistem logistik pangan berbasis kepulauan. Delapan, mengurangi food loss and waste (FLW) baik pada produksi, pasca panen, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi. Kesembilan, regenerasi dan penguatan kelembagaan petani,” tutur dia.
 
Upaya terakhir dalam penguatan resiliensi sistem pangan, yaitu pentingnya arah kebijakan nasional yang berpihak pada pangan lokal. Seperti kebijakan rasio kandungan pangan lokal pada setiap impor gandum.
 
Dalam pertemuan itu, turut hadir sebagai pembicara, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University Nunung Nuryartono dan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Elan Satriawan. Kegiatan dipandu Ketua Pusat Ilmu Transdisiplin dan Keberlanjutan (CTSS) IPB University Damayanti Buchori. 
 
Baca juga: Tekan Impor Gandum, IPB Kembangkan Varietas Sorgum 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan