Siswa di jendela kelas. Foto: MI/Gino Hadi
Siswa di jendela kelas. Foto: MI/Gino Hadi

Biaya Pendidikan Picu Tingginya Inflasi, Ini 3 Biang Keroknya

Citra Larasati • 03 September 2024 13:18
Jakarta:  Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, biaya sekolah yang menjadi pemicu tingginya inflasi disebabkan tiga faktor utama. Mulai dari lemahnya political will dari pemerintah hingga kebijakan kopersialisasi dan privatisasi pendidikan.
 
"Lemahnya political will dari pemerintah. Dalam mengurusi pendidikan, hingga kini pemerintah tidak punya peta jalan yang jelas mau dibawa kemana pendidikan kita ini," kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, di Jakarta, Selasa, 3 September 2024.
 
Menurutnya, setiap presiden memiliki agenda baru, pun menteri pendidikan baru punya program prioritas baru. Ini menyebabkan problem utama soal ketimpangan akses dan kesenjangan kualitas pendidikan menjadi problem warisan turun-temurun yang tak terselesaikan.

Bahkan, pemerintah juga belum dapat mengelola dana pendidikan dengan baik. “Jangankan sesuai sasaran dan tujuan, menyerap saja pemerintah masih kewalahan. Tahun 2023, ditemukan Rp 111 trilliun anggaran pendidikan tak terserap. Hingga kini masih belum jelas, apa saja dan mengapa bisa terjadi,” kata Ubaid. 
 
Faktor kedua, kata Ubaid, adalah alokasi anggaran pendidikan yang salah sasaran. Anggaran pendidikan yang setiap tahun selalu naik, namun tidak berdampak apa-apa pada sejumlah tolok ukur peningkatan kualitas pendidikan.
 
"Belum juga menyelesaikan masalah dasar pendidikan soal kemudahan akses sekolah bagi semua anak, tanpa terkecuali," terangnya.
 
Anggaran pendidikan yang diwajibkan oleh konstitusi untuk pelaksanaan program wajib belajar dengan bebas biaya pun tidak mampu dipenuhi. "Yang ada malah sebagian besar anggaran pendidikan disunat oleh belanja pegawai dan juga belanja kementerian dan lembaga lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan. Tahun depan, anggaran pendidikan juga kembali akan disunat oleh agenda makan bergizi gratis. Sampai kapan penganggaran yang salah sasaran ini akan diteruskan?” kata Ubaid. 
 
Faktor terakhir, kata Ubaid, kebijakan komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Agenda komersialisasi dan privatisasi pendidikan ini begitu nyata dirasakan oleh masyarakat.
 
Semakin tinggi jenjang pendidikan, maka peran pemerintah semakin kecil sementara peran swasta kian besar. Peran pemerintah semakin hari semakin menciut, sementara peran swasta dalam pendidikan kian dominan.
 
Hal ini bisa dilihat secara sederhana dari sisi jumlah lembaga pendidikan. Di jenjang pendidikan dasar jumlah SDN mencapai 75 persen, SMPN 42 persen, SMAN/SMKN 33 persen, dan PTN hanya 9 persen (BPS 2023).
 
“Tentu ini sangat merepotkan masyarakat golongan kelas menengah dan bawah. Mereka akan kesulitas akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena harus memenuhi tarif biaya pendidikan yang tambah mahal,” ujar Ubaid.  
 
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut, biaya pendidikan jadi penyumbang utama inflasi Agustus 2024. Kabar ini disiarkan oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini dalam konferensi pers kemarin di Jakarta. 
 
Tren inflasi tertinggi terjadi pada biaya sekolah dasar yang sebesar 1,59 persen, diikuti oleh biaya sekolah menengah pertama sebesar 0,78 persen, biaya akademi/perguruan tinggi 0,46 persen, serta biaya sekolah menengah atas 0,36 persen.
 
Kasus di Jakarta misalnya menunjukkan, ternyata banyak lembaga pendidikan, khususnya sekolah dasar di daerah ini menaikkan iuran sekolah sehingga memicu inflasi pada Agustus 2024. Dilihat dari kelompok pendidikan, komoditas utama penyebab inflasi pada Agustus 2024 adalah biaya iuran SD dan SMP.
 
Hal senada juga terjadi di Jawa Timur. Pada Juli 2024 inflasi mencapai 2,13 persen, dengan penghitungan pengeluaran terbesar di biaya pendidikan. 
 
Baca juga:  Biaya Sekolah Picu Inflasi: Anggaran Pendidikan Salah Sasaran
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan