Doxing adalah perubahan pelafalan singkatan “docs” yang mengacu pada kata “documents”. Di era 1990an, istilah doxing diambil dari kata slang “dropping dox”, populer dikalangan para peretas, menjelaskan strategi serangan balik kepada lawan menggunakan data pribadi yang semula bersifat pribadi menjadi terbuka untuk umum.
Sekarang, doxing merupakan satu bentuk cyberbullying (perundungan dunia maya), yakni saat pelaku bullying menyebarkan data pribadi orang lain tanpa izin dengan tujuan menyerang personal pihak tertentu.
Psikolog IPB University, Nur Islamiah, mengatakan doxing tak hanya merenggut hak privasi seseorang, namun juga berpotensi menimbulkan diskriminasi dan aktivitas bullying lainnya seperti kekerasan verbal yang bahkan dapat menimbulkan ancaman fisik. Doxing lebih jauh bisa berdampak pada kesehatan mental seseorang.
“Korban cyberbullying termasuk doxing biasanya mengalami tekanan psikologis, di antaranya gangguan kecemasan, merasa malu, rendah diri, bahkan depresi (ketakutan berlebihan). Hal ini disebabkan oleh terbukanya informasi pribadi yang sensitif ke hadapan publik sehingga sangat mungkin korban mendapatkan tekanan dan pesan-pesan negatif,” papar Nur dalam keterangan tertulis, Jumat, 31 Mei 2024.
Nur menekankan setiap orang berhak atas privasi. Meskipun benar bersalah, ada mekanisme hukum yang berlaku dan bisa digunakan untuk meluruskan bentuk pelanggaran yang terjadi.
“Dengan pembukaan data pribadi di dunia maya, dikhawatirkan adanya pelanggaran penggunaan informasi pribadi yang dapat merugikan. Selain itu, mempermalukan orang di hadapan khalayak tentu bukan cerminan etika yang baik, serta memiliki dampak buruk terhadap kesehatan korban, baik fisik maupun mental,” tegas dia.
Dia menyebut apabila menemukan kejanggalan, alih-alih melakukan doxing yang mengarah pada cyberbullying, ada baiknya melapor ke kanal aduan resmi.
“Terlebih, bagi seorang mahasiswa yang baik tentunya menjunjung nilai-nilai akademis, salah satunya selalu menguji dan mempertanyakan kebenaran sesuatu, bukan ikut-ikutan menghakimi, terlebih tanpa adanya bukti yang terang benderang,” tutur dia.
Dosen Ilmu Keluarga dan Konsumen IPB University ini berpesan agar generasi muda terus belajar, termasuk memahami dampak negatif dari perilaku doxing, yaitu dapat merugikan orang lain, pelanggaran privasi, dan pencemaran nama baik. Selain itu, doxing juga dapat mengganggu kesehatan mental korban.
“Kedua, sadari bahwa setiap manusia memiliki hak atas privasi mereka dan doxing berarti melakukan tindakan tidak etis dan merugikan orang lain. Perilaku ini juga memiliki konsekuensi hukum terhadap pelaku,” pesan dia.
Ketiga, ia menyarankan, hindari terlibat dalam kontroversi di dunia maya yang belum jelas duduk perkaranya. Sebab, hal ini dapat memicu dorongan untuk melakukan doxing.
“Fokuskan diri pada hal-hal yang positif dan bermanfaat terutama terkait dengan pertumbuhan kualitas diri, misalnya melakukan hobi yang disukai, serta mengembangkan potensi, bakat, dan kreativitas. Secara pribadi kita masih memiliki banyak ruang yang harus dibenahi. Jangan kita sibuk mengurusi ruangan orang lain,” tutur Nur.
Dia juga berpesan untuk menggunakan gadget secara bijaksana agar terhindar dari korban tersebarnya data pribadi. Bagikan informasi seperlunya, tidak semua harus dibagikan kepada khalayak, termasuk membagikan informasi pribadi.
Kemudian, berhati-hati terhadap phising, yaitu ketika ada pihak yang meminta informasi melalui pesan instan atau email tanpa verifikasi jelas. “Terakhir, jika merasa menjadi korban doxing, jangan ragu segera laporkan ke pihak yang berwenang untuk mengatasi masalah tersebut,” tutur dia.
Baca juga: Pakar Hukum Unair Ingatkan Pelaku Doxing Bisa Dihukum 6 Tahun Penjara |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News