Hal ini karena global warming berupa naiknya permukaan air laut dan material tanah di utara Jawa belum solid. Bachtiar menyebut rob diperparah banyaknya permukiman, tidak hanya milik pribadi atau perorangan tetapi juga skala industri.
“Sehingga dimungkinkan penggunaan air tanah. Akibatnya, banyak permasalahan cukup kompleks mulai dari kenaikan muka laut, kemudian material tanahnya yang alluvial umurnya masih muda, juga terkait dengan penggunaan lahan," papar Bachtiar dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 25 Mei 2022.
Dosen Fakultas Geografi UGM itu menyebut rob di Semarang sudah memiliki riwayat lama. Dia menuturkan rob sangat sering dan saat penahan air jebol lantaran bersamaan dengan puncak pasang, di mana posisi bumi dan bulan begitu dekat.
“Pasangnya cukup tinggi, tanggulnya jebol ya akhirnya kawasan di pesisir Semarang terendam. Sebenarnya fenomenanya sudah dimitigasi oleh pemerintah, tapi karena muka laut memang cukup tinggi dan ada bangunan yang jebol akibatnya banyak yang terendam," tutur dia.
Dia menjelaskan material tanah di utara Jawa berasal dari endapan atau sedimentasi proses dari sungai. Sehingga, material sedimen tersebut diukur dari skala geologi masih muda sehingga masih labil, belum solid atau belum kompak.
Sementara itu, di atasnya berdiri banyak bangunan sehingga semakin memperberat. Dia mengatakan belum lagi penggunaan air tanah yang berakibat penurunan muka tanah.
Dalam catatan penurunan muka tanah (land subsidence) di Semarang sekitar 19 cm per tahun. Untuk rob 40-60 cm dan pernah mencapai 1 m pada 2013.
“Padahal stasiun pasang surut sudah ada, ada tanggul laut, tapi yang kemarin fenomena pasangnya memang cukup tinggi dibandingkan dengan biasanya. Mungkin karena masih dalam kondisi ekstrem untuk cuacanya, bahkan ini diperkirakan sampai Juni untuk puncak pasangnya. Karenanya memang perlu perhatian khusus seperti apa untuk upaya mitigasinya nanti," ucap dia.
Bachtiar menuturkan pemerintah sudah memahami yang terjadi di Semarang dan wilayah lain di pantai utara Jawa yang sejak lama dikenal sebagai kawasan rawan terkena rob. Bahkan, beberapa kegiatan mitigasi sudah dilakukan, misalnya kegiatan pemerintah pusat bersama Pemkab Pekalongan membuat sumur pompa, pembangunan tanggul, dan lain-lain.
Dia menyebut bila terjadi penurunan muka tanah yang perlu mendapat perhatian ialah terkait tata ruang. Bachtiar menyebut perlu diatur penggunaan lahan, khususnya di wilayah pesisir agar tidak terlalu masif.
Hal itu juga menyangkut industri skala besar beserta penggunaan air tanah yang biasanya kapasitas pemakaiannya jauh lebih besar dibandingkan dengan pemakaian masyarakat biasa. Bachtiar menyebut hal-hal itu perlu diatur khusus.
“Kita berharap ada semacam moratorium atau peraturan yang melarang penggunaan air tanah di skala industri atau seperti apa itu perlu dilakukan juga," tutur dia.
Bachtiar menyebut peristiwa di Demak beberapa waktu lalu tidak boleh terulang kembali. Peristiwa di Demak mengakibatkan satu desa hilang karena rob dan terjadi penurunan muka tanah.
Dia menuturkan masyarakat yang tinggal di pesisir sesungguhnya sudah paham risiko yang dihadapi. Tetapi, karena keterbatasan ekonomi mereka tidak memiliki opsi atau pilihan lain.
Kondisi tersebut menjadikan mereka mau tidak mau harus beradaptasi. Bachtiar menyebut istilahnya yakni day by day adaptation, artinya jika hari ini tinggi rob mencapai 30 cm maka mereka harus meninggikan posisi barang-barang vital di rumah seperti tempat tidur, perangkat elektronik, dan lain-lain agar tidak terendam.
Berbeda dengan mereka yang berkecukupan secara ekonomi mempunyai pilihan untuk meninggikan rumah sehingga aman dari rob. Bachtiar menyebut bila sempat berkunjung atau melewati pantai utara Jawa dipastikan menyaksikan kumpulan hunian mirip rumah liliput.
“Ya ini karena mereka tidak mempunyai sumber daya untuk memperbaiki. Jika sampai rumah terendam, maka mereka pun keluar dulu menunggu sampai airnya surut," tutur dia.
Baca: Warga Terdampak Banjir Rob Mulai Sakit dan Kekurangan Air Bersih
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News