"Faktor pertama terjadinya seseorang ikut dalam gerakan radikal dan menjadi teroris adalah faktor internal dari dalam diri pelaku, yakni kondisi psikologis pelaku," kata Nuhfil saat dikonfirmasi, Rabu 20 Juni 2018.
Nuhfil menjelaskan kondisi psikologis yang tidak stabil, seperti stres dan depresi akibat adanya tuntutan hidup atau terbelit pada kesulitan ekonomi serta masa lalu, dapat menjadi penyebab seseorang menjadi teroris.
"Seseorang yang kondisi psikologisnya tidak stabil akan dengan mudah dipengaruhi oleh paham-paham yang berkiblat pada terorisme. Seseorang yang sedang labil akan cenderung mudah didekati secara personal oleh para agen-agen teroris," bebernya.
Salah satu pendekatan yang dilakukan biasanya diawali dengan mengajak orang tersebut ke dalam kelompok pengajian kecil atau halaqoh.
"Media ini digunakan oleh para agen teroris sebagai tempat curhat-nya orang yang sedang labil. Sehingga orang tersebut merasa nyaman dan memiliki teman untuk berbicara," ungkapnya.
Nuhfil menambahkan faktor eksternal yang menjadi penyebab terjadinya terorisme di antaranya mulai lunturnya nilai-nilai kebangsaan, kesenjangan ekonomi, pemahaman keagamaan yang keliru, dan lain-lain.
"Selain itu, keberadaan doktrin jihad dari luar yang masuk ke Indonesia, dan sentimen emosional ingin ikut jihad setelah melihat adanya penindasan kaum muslim di berbagai negara seperti di Palestina, Suriah, dan Afganistan juga termasuk faktor eksternal," pungkasnya.
Sebelumnya, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) menyebutkan, sebanyak tujuh kampus ternama yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), hingga Insitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB) telah terpapar radikalisme.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News