Dosen Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Ali Imron, menyebut fenomena sadboy yang direpresentasikan Fajar tersebut merupakan hal lumrah terjadi di usia remaja. Fase tersebut masanya seseorang mencari jati diri dalam membangun identitas diri. Salah satunya, ketertarikan kepada lawan jenis.
“Tertarik pada lawan jenis itu salah satu cara remaja mengkonstruksi identitasnya. Masa remaja merupakan masa labil seseorang yang mudah sekali menerima informasi atau pengaruh dari luar tanpa ada pemikiran lebih lanjut atau pertimbangan lebih jauh,” jelas Ali dikutip dari laman unesa.ac.id, Senin, 16 Januari 2023.
Sejumlah pihak menilai Fajar terlalu cepat dewasa dari usianya yang masih 15 tahun. Namun, Ali mengatakan hal itu tidak bisa disalahkan karena tak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi dan informasi yang membuat seseorang mencari jati diri secondary socialization.
Dia menuturkan dari fenomena Fajar, memunculkan berbagai komentar, satu sisi menganggap sadboy identik dengan baper (bawa persaan) dan terlalu dalam dengan urusan cinta monyet justru bisa merusak generasi remaja yang lain. Di sisi lain, ada yang bersimpati dengan nahasnya kisah Fajar.
Komentar ini justru semakin menaikan rating sadboy di dunia maya. Tidak heran, Youtuber turut menjadikan kisah Fajar sebagai bagian dari konten mereka.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum (FISH) itu menyebut satu sisi memang wajar terjadi, tetapi menjadi tidak baik juga terlalu berlebihan. Dia mengatakan peran orang tua diperlukan agar anak melalui masa remaja dengan baik menuju dewasa.
“Fase ini memang sangat riskan. Peran orang tua menjadi kunci termasuk membekali anak sebelum memasuki dunia cinta monyet. Jangan sampai anak mendapat bekal justru dari tayangan YouTube, film, atau yang lainnya. Karena gampang sekali merasuki pemikiran remaja. Apalagi ditambah lingkungan pergaulan yang tidak mendukung,” ujar dia.
Di balik naiknya nama Fajar, tidak lepas dari pengaruh media sosial maupun media massa. Fenomena tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi media.
Ali menekankan pada era distrupsi ini banyak media menangkap sebuah peristiwa yang berpeluang trending lalu mereproduksi dengan kemasan tertentu untuk dikonsumsi publik. Dia menyebut dalam sosiologi peran media dalam konteks ini dinamakan komodifikasi.
Dia menjelaskan Fajar sebagai suatu komoditas yang dikelola media sehingga bernilai jual di pasar publik. “Selain unik, peristiwa seperti ini apabila dipasarkan juga sangat mudah untuk diakses oleh masyarakat seingga tingkat konsumsinya juga akan tinggi,” tutur dia.
Ali menyebut dampak yang dirasakan Fajar tentu dalam jangka pendek mengalami culture shock yang membuatnya bingung menempatkan diri pada kondisi tertentu. “Sekali lagi, peran orang tua sangat ditekankan karena selain sebagai kontrol juga yang membantu filter dan mendampingi anak hingga dewasa,” kata dia.
Baca juga: Jadi Trending Topic, Ini Sejumlah Kalimat Matching Fajar SadBoy yang Bikin Netizen Heboh |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News