Ngkaji Pendidikan GSM Gelar 'Reset' di Yogyakarta. Foto: GSM
Ngkaji Pendidikan GSM Gelar 'Reset' di Yogyakarta. Foto: GSM

Pendidikan Sekadar Cetak Robot atau Manusia? Guru Gelar 'Reset' di Yogyakarta

Citra Larasati • 23 Desember 2025 15:01
Jakarta: Sebanyak 500 guru dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul dalam forum Ngkaji Pendidikan yang digelar Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Yogyakarta. Forum ini mengangkat pertanyaan mendasar, yakni apakah pendidikan Indonesia masih bertujuan membangun manusia yang utuh, atau sekadar menyiapkan tenaga kerja?
 
Founder GSM, Muhammad Nur Rizal, menyatakan tema Human and Education Reset sengaja dipilih karena pendidikan dinilai terlalu lama fokus pada perbaikan teknis dan mengabaikan fondasi kemanusiaan.
 
Reset bukan restart. Ini menata ulang sistem dengan kembali ke dasar, cara berpikir, merasa, dan mengambil keputusan. Krisis hari ini adalah krisis nalar dan kebijaksanaan, bukan teknologi,” tegas Rizal dalam keterangannya, dikutip Selasa, 23 Desember 2025.

Pelajaran dari Tambora dan Deforestasi

Rizal menggambarkan paradoks dunia modern, di mana teknologi maju, tetapi keputusan publik sering abai pada data dan etika. Ia mencontohkan letusan Gunung Tambora 1815 yang menjadi bencana besar karena ketidaksiapan manusia.

Narasi serupa ditarik ke deforestasi di Sumatera. Data menunjukkan alih fungsi hutan mengubah koefisien resapan air dari 90 persen menjadi 10 persen, memicu banjir bandang dan longsor.
 
“Ini akibat paradigma yang melihat hutan sebagai ruang transaksi, bukan sistem ekologis. Kita merusak hutan, tapi tidak menjadi kaya. Yang diwariskan justru kerugian,” papar Rizal.

Jalan Keluar

Sebagai solusi, Rizal menawarkan Education Reset melalui pendekatan liberal arts, bukan sebagai mata pelajaran tambahan, melainkan kerangka berpikir untuk memulihkan kemampuan manusia dalam berpikir logis, merasakan, dan bertindak etis.
 
“Tanpa ini, pendidikan berisiko melahirkan manusia yang cerdas teknis tapi rapuh moral. Ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan yang memanusiakan,” jelasnya.
 
Forum yang dihadiri guru dari Tangsel hingga Kalimantan ini ditutup tanpa deklarasi, tetapi meninggalkan pertanyaan reflektif yang dalam. Jika pendidikan hanya mencetak manusia pintar tanpa kebijaksanaan, apakah kita membangun masa depan atau justru menyiapkan krisis berikutnya?
 
Menurutnya, pendidikan terlalu fokus pada adaptasi teknologi, tetapi abai melatih manusia 
untuk berpikir jernih, membaca realitas, dan mengambil keputusan etis. Akibatnya, kecerdasan 
meningkat, tetapi kebijaksanaan tertinggal. 
 
Rizal menilai manusia hari ini telah memegang “Api Prometheus” nalar dan teknologi, namun 
tanpa kebijaksanaan. Karena itu, human reset menjadi prasyarat sebelum education reset 
dijalankan. 
 
Sebagai jalan keluar, Rizal menekankan pentingnya Education Reset melalui pendekatan liberal 
arts, bukan sebagai mata pelajaran baru, melainkan sebagai kerangka berpikir. 
 
“Liberal arts bukan kurikulum Barat atau mata pelajaran tambahan. Ia adalah alat untuk 
memulihkan manusia dalam berpikir, merasa, dan bertindak,” tambahnya. 
 
Rizal menjelaskan bahwa pendidikan saat ini kehilangan dua hal sekaligus: alat berpikir 
(trivium: logika, bahasa, retorika) dan rasa keteraturan alam (quadrivium: numerik dan harmoni 
alam). Tanpa keduanya, pendidikan berisiko melahirkan manusia yang cerdas secara teknis, 
tetapi rapuh secara moral.  Gagasan ini, menurut Rizal, sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang  menempatkan pendidikan sebagai proses menuntun manusia agar utuh dan merdeka, bukan sekadar terampil.  Ngkaji Pendidikan berakhir tanpa deklarasi atau rekomendasi kebijakan. Namun kegelisahan  yang tersisa justru menjadi pesan utamanya. 
 
“Jika pendidikan terus mencetak manusia pintar tetapi tidak bijak,” kata Rizal, “kita tidak sedang 
membangun masa depan, melainkan menyiapkan krisis berikutnya.” 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan