Salah satu budaya yang berbeda dari lainnya adalah Bangkong Reang. Alat ini merupakan alat musik tradisional yang berbahan bambu dan masyarakat desa menganggap bangkong reang sebagai kearifan lokal sangat unik karena tidak bisa ditemukan di mana-mana. Budaya ini diambil dari kebiasaan sehari-hari penduduk Desa Lebak Muncang.
“Nama Bangkong Reang sendiri memiliki dua makna, yaitu bangkong dan reang. Bangkong sendiri artinya katak, sedangkan reang artinya suara banyak dari orang atau binatang, tetapi fokus suara Bangkong reang adalah suara binatang yang saling bersahutan. Singkatnya, alat musik ini diadaptasi dari suara katak yang dicoba untuk menjadi media hiburan dan fungsi utamanya adalah pengusir hama,” ucap Project Manager Desa Apik’Uncang Martina Kusuma.
Desa Apik’Uncang menyadari potensi budaya bangkong reang dari Desa Lebakmuncang memiliki peluang besar untuk memperkenalkan kepada para pengunjung melalui acara Urban Village D’Fest. Acara ini mereka berinisiasi untuk modifikasi secara unik dengan mengenalkan potensi budaya bangkong reang melalui stand booth dan performance.
“Konsep boothnya adalah APIK ‘Asri Pemandangan Indah Kahuripan’ yang dimana kita mengambil konsep ini untuk membuat kesan nyaman pada pengunjung, ditambah dengan multisensori di dalamnya, ada aroma teh, suara air, dan juga alunan musik yang menambah suasana menjadi lebih adem,” kata Ananda Nurul, Penanggung Jawab Dekorasi Booth Desa Apik’Uncang.
Konsep APIK sangat relevan dengan potensi budaya bangkong reang yang menjadi langkah mereka untuk mengenalkan alat musik bangkong reang kepada masyarakat di berbagai kalangan.
“Pengunjung diarahkan untuk memainkan games pertama, yaitu puzzle bangkong reang, dilanjut games kedua setelah tau gambar atau bentuknya dilanjut dengan pengenalan suara dari bangkong reang, yaitu dengan games apik nada, di sana dijelaskan bagaimana cara memainkannya dan pengunjung dapat merasakan langsung pengalaman memegang alat musik bangkong reang. Selain itu juga, ada alunan musik di dalam booth yang sudah di modernisasi dengan alat musik seperti gitar," ujarnya.
Sedangkan, konsep performance juga disesuaikan dengan konsep booth yang masih mengangkat potensi budaya bangkong reang, yaitu berjudul ‘Sejuta Mimpi Raka’ mengenai persahabatan, cinta, dan perjuangan seorang pemuda desa yang ambisius dalam meraih impiannya untuk memperkenalkan dan membawa alat musik tradisional Bangkong Reang ke kota dimana masyarakat kota atau masyarakat di luar desa belum mengetahui keberadaan alat musik tradisional tersebut.
“Cerita ini dibikin oleh beberapa orang dalam sebuah tim scriptwriter yang ingin membuat dan menyajikan sebuah cerita yang ringan dan menghibur untuk penonton dan tentunya kami dapat menyampaikan pesan kami dengan baik,” kata Naufal Widaad selaku sutradara performance Apik’Uncang.
“Hal ini dibuat sedemikian rupa karena kami ingin penonton dapat mengerti dan memahami dengan mudah cerita yang disampaikan tanpa harus bingung, sehingga mereka dapat menikmati pertunjukan drama musikal yang ditampilkan,” kata Naufal menambahkan.
Penonton dibuat terpukau saat pertunjukan drama musikal dari Apik’Uncang berlangsung. Melalui tema persahabatan, cinta, dan perjuangan seorang pemuda desa, Apik’Uncang dapat membawa penonton merasakan emosional dari para pemeran dan alur ceritanya.
“Kami membuat cerita yang berangkat dari keinginan kami untuk mengenalkan bangkong reang kepada khalayak luas akan tetapi dengan tampilan dan kemasan yang masa kini dan relate dengan para penonton. Oleh karena itu kami mengangkat cerita tentang seorang pemuda desa yang ingin menjadi musisi terkenal dengan alat musik bangkong reang kesayangannya, dan cerita ini kami kemas dalam drama musikal dengan pemilihan lagu yang sering didengar oleh penonton serta sesuai dengan alur cerita yang disajikan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News