Rektor UAI, Asep Saefuddin.  Foto: Medcom.id/Kautsar Widya Prabowo
Rektor UAI, Asep Saefuddin. Foto: Medcom.id/Kautsar Widya Prabowo

Program Organisasi Penggerak

Rektor: Tidak Baik Menyamakan NU dan Muhammadiyah dengan Ormas Baru

Citra Larasati • 26 Juli 2020 15:13
Jakarta:  Rektor Universitas Al Azhar Indonesia, Asep Saefuddin menilai, diperlukan kajian mendalam terhadap Program Organisasi Penggerak (POP) yang digagas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Meskipun secara ide dengan konsep gotong royong mungkin saja menjadi salah satu solusi, namun cara mengeksekusi program ini tak kalah penting untuk diperhatikan.
 
Menurut Asep, POP Kemendikbud itu harus jelas terlebih dahulu secara holistik, terutama unsur 2W1Hnya, yakni Why, What, dan How.  Di tataran why, Kemendikbud harus mampu mengkaji sampai ke akar-akarnya. Boleh saja PISA dijadikan sebagai indikator tetapi jangan terlalu parsial dan terpotong-potong (fragmented). 
 
"Dengan kedalaman, ketajaman, dan keluasan analisis tentunya berdampak pada W (what) dan H (how)," jelas Asep dalam keterangannya, Minggu, 26 Juli 2020.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Kalaulah dari why itu lahir POP atau Program Organisasi Penggerak, maka harus jelas juga bentuk what dan how-nya.  "Apakah pernah dikaji kelembagaan dan metodenya? Bila persoalan untuk sekadar perbaikan PISA (Programme for International Student Assessment), bisa saja tidak dalam bentuk POP seperti yang digagas Kemendikbud," ujar Guru Besar Statistika IPB ini.
 
Baca juga:  LP Ma'arif NU: Nadiem Tak Paham Betul Sejarah Pendidikan Indonesia
 
Menurutnya, bisa saja konsep POP tidak menuju ke perbaikan PISA atau kinerja pendidikan lainnya. "Ini semua harus jelas. Jangan-jangan kita menggaruk kaki padahal tangan yang gatal.
Seandainya POP adalah "what" yang benar, apakah "how"nya tepat? Termasuk "how" dari proses seleksi," tegas dia.
 
Dari informasi yang ada terlihat bahwa organisasi besar seperti PGRI, Muhammadiyah, dan NU dianggap sama dengan organisasi yang baru lahir. "Tentu ini tidak baik. Konsep independensi dan blind reviewer belum tentu sebuah "how" yang benar untuk masalah ini," tandas Asep.
 
Harus dibedakan dengan proses penilaian paper untuk jurnal yang menggunakan pola independensi dan blind reviewer. Semua itu ada how yang berbeda-beda. Termasuk juga perbedaan negara. Belum tentu how yang bagus di sebuah negara itu otomatis bagus di Indonesia.
 
Jadi bila semuanya serba tidak jelas, wajar bila tiga organisasi pendidikan itu mundur. "Saya rasa bukan berarti mereka tidak peduli terhadap pendidikan, tetapi mereka mau melangkah secara baik dan benar, sejak tahap awal," terangnya.
 
Menurut Asep, Kemendikbud harus belajar dari kejadian POP itu. Pendidikan juga bukan sekadar mengejar ketertinggalan teknologi disrupsi dan inovasi. Terapi jauh lebih mendasar dari hal itu.
 
"Kalau ada masalah dalam dunia pendidikan kita bisa saja terjadi. Tetapi jangan dilihat terlalu sempit di level permukaan. Pendidikan intinya berkaitan kemanusiaan. Bukan sekadar inovasi, IQ, dan teknologi," tegas Asep.
 
Pembenahannya harus dilakukan secara holistik. Sehingga SDM Indonesia mempunyai daya imajinasi yang tinggi yang berdampak pada tumbuhnya inovasi. Juga kolaborasi yang diperlukan agar inovasi itu bermanfaat untuk masyarakat. 
 
Ia menambahkan, belum lagi unsur religi dan spiritualitas dan banyak lagi unsur-unsur mendasar lainnya yang perlu dikaji secara mendalam dan holistik. "Bukan sekadar perbaikan permukaan," tutup mantan rektor Universitas Trilogi ini.
 
(CEU)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif