Pendataan ini juga akan dilakukan kepada dosen dan pegawai di perguruan tinggi. Nasir mengatakan pendataan ini bukan berarti kampus terus memantau akun media sosial mahasiswanya, namun hanya sebatas mendata.
Nasir juga menegaskan, hal tersebut bukan untuk membatasi kebebasan hak berekspresi mahasiswa saat melakukan aktivitasnya. Baik itu demonstrasi ataupun kajian-kajian yang kemudian dibagikan di akun media sosial.
"Kalo itu sifatnya kajian, tidak apa-apa. Bagi saya tidak akan sampai ke sana, yang kami teliti hanya radikalisme dan intoleransi. Kalau terjadi radikalisme dan intoleransi ini masalah bagi kami. Kita ingin mendidik bangsa yang cinta Tanah Air," kata Nasir, di Gedung D Kemenristekdikti, Senayan, Jakarta, Jumat, 26 Juli 2019.
Nasir juga mengatakan pendataan media sosial dan nomor telepon seluler ini guna memudahkan melakukan pelacakan apabila ada mahasiswa yang terindikasi terpapar maupun menyebarkan paham radikal. Namun jika tidak ada indikasi tidak akan dilakukan pelacakan.
Baca: Mantan Napiter Beberkan Ciri-ciri Mahasiswa Terpapar Radikalisme
"Kalau misal di kampus ada kegiatan kampus itu ekstrem maka lihat medsos dan nomor teleponnya, itu baru kita lacak. Ternyata mereka punya jaringan," ujarnya.
Nasir menyebut, akan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN) guna menangkal dan mencegah menyebarnya paham radikal di lingkungan kampus. Apabila nantinya terindikasi ada mahasiswa yang terpapar radikalisme, kampus harus bertanggung jawab untuk mengedukasi.
"Itu kalau terdeteksi radikalisme atau intoleransi akan dipanggil rektor lalu diedukasi. Tidak serta merta dikeluarkan. Diedukasi bahwa kamu tidak boleh ini (radikal). NKRI Pancasila sebagai ideologi negara," terangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News