Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mutasya menyebut kerusakan lingkungan merupakan dampak wajar untuk pembangunan ekonomi. Namun, dalam perkembangan terakhir, telah ada pertemuan World Economy Forum yang juga dihadiri Indonesia.
“Dengan perspektif ekonomi (forum tersebut), ternyata anggapan mengorbankan lingkungan untuk pembangunan sekarang sudah tidak relevan lagi. Karena, jika memaksakan hal tersebut, kekeringan, bencana iklim yang semakin banyak, peningkatan suhu, akan berpengaruh pada bisnis,” ujar Tata dalam Forum Diskusi 1.0 bertema Save Earth Soul (SES): Climate Change and Its Danger! yang digelar Departemen Kajian Isu Strategis (Kastra) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Psikologi Universitas Airlangga (Unair) dikutip dari laman unair.ac.id, Selasa, 31 Mei 2022.
Tata menyebut saat bersamaan, negara-negara di dunia belum dapat menyepakati langkah konkret untuk dapat menghentikan krisis iklim yang kian buruk ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan laporan IPCC 2022, lima hal tentang krisis iklim yang menegaskan keadaan iklim sudah jauh lebih buruk dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Berdasar kesepakatan iklim global COP 26 di 2021, kata Tata, perlu menjaga suhu tidak melampaui 1,5 derajat dan mengurangi penggunaan energi kotor batu bara. Namun, hanya 6 persen negara yang berkomitmen dan punya target jelas dan berambisi untuk zero emission.
“Dari hal tersebut, kita dapat menilai bahwa kita tidak akan survive jika kita tidak bisa menghentikan krisis iklim tepat waktu sampai 2030. Bukan soal lingkungan saja, dampaknya juga akan sangat besar terhadap manusia dan ekonomi,” tutur dia.
Tata mengatakan Indonesia berada pada urutan kelima penghasil krisis iklim di dunia dengan sektor energi menjadi penyumbang emisi terbesar. Indonesia merencanakan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2 pada 2030.
Namun, hal itu belum cukup untuk menghentikan krisis iklim. Terlebih, dibandingkan dengan negara lain.
Selanjutnya, Tata mengungkapkan beragam dampak krisis iklim. Dia menuturkan dampak paling terasa di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kekeringan, dan puting beliung.
Lalu, dari sektor perekonomian, diprediksikan mengalami kerugian sebesar USD40 triliun atau separuh PDB global berisiko terdampak krisis iklim. “Dan, sektor pertanian di mana terdapat 30 juta warga dan 15 persen PDB akan berdampak,” kata dia.
Berkaca dari dampak tersebut, Tata menyebut sebagai negara Indonesia dapat mencari inovasi dan mencari alternatif energi agar dapat mengurangi krisis iklim. “Maka sebetulnya kunci dari Indonesia adalah bisa mengatasi dengan transisi energi fosil, seperti batu bara minyak bumi ke energi bersih dan terbarukan,” tegas dia.
Baca: Indonesia Terus Memperkuat Kebijakan Iklim dan Implementasinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News