Rektor UIN Jakarta Amany Lubis. Foto: Dok Humas UIN Jakarta
Rektor UIN Jakarta Amany Lubis. Foto: Dok Humas UIN Jakarta

Rektor UIN Jakarta Ajak Seluruh Pihak Hentikan Perkawinan Anak

Arga sumantri • 21 April 2021 16:27
Jakarta: Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Amany Lubis mengajak para tokoh agama dan masyarakat di Tanah Air bersama-sama memutus tradisi perkawinan anak. Hal ini diperlukan agar rumah tangga pasangan menghasilkan generasi unggul bagi keberlangsungan kehidupan umat beragama dan bangsa Indonesia yang berkualitas.
 
Amany menuturkan angka perkawinan anak di Indonesia masih sangat tinggi. Sejumlah daerah seperti Sulawesi Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah memiliki angka perkawinan anak yang cukup tinggi.
 
Secara geografis, angka perkawinan anak didominasi oleh masyarakat di kawasan perdesaan. Model perkawinan anak saat ini, kata dia, biasanya dilakukan dengan menyiasati aturan batas minimal usia 21 kelayakan menikah pasangan pengantin laki-laki dan perempuan.

"Masih banyak yang mengajukan izin menikah. Minta dispensasi (untuk melakukan perkawinan anak). Ini menandakan perlunya upaya bersama, semua tokoh agama dan masyarakat, agar pernikahan anak dicegah," kata Amany, mengutip siaran pers UIN Jakarta, Rabu, 21 April 2021.
 
Perlunya pencegahan perkawinan anak, jelasnya, didasarkan keharusan setiap keluarga menghasilkan keturunan unggul. Keturunan yang ideal yakni dengan terpenuhinya kebutuhan gizi, pendidikan, kualitas mental spiritual, sehingga terbentuk umat-bangsa yang hidup dalam garis kehidupan sejahtera.
 
Baca: Jumlah Guru Besar Kalangan Perempuan Dinilai Masih Kurang

Pandangan Islam

Amany menjelaskan Islam telah mengajarkan pentingnya pembangunan kehidupan rumah tangga yang baik. Prinsip penting dalam pembangunan kehidupan rumah tangga ini adalah keharusan setiap muslim untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah.
 
"Muslim tidak boleh meninggalkan keturunan yang lemah karena kurang gizi, ibunya sakit saat hamil, atau bayi yang baru lahir kurang perhatian. Itu kewajiban umat Islam untuk tidak meninggalkan keturunan lemah. Durritan Dhu’afa," ungkapnya.
 
Ia memaparkan, hukum syariah mensyaratkan pernikahan bisa dilakukan saat pasangan calon pengantin memenuhi syarat Isytatho’a. Syarat ini bisa dipahami sebagai kemampuan dan kesiapan pasangan pengantin secara fisik, mental, spiritual, moral, sosial dan budaya.
 
Ringkasnya, isytatho’a bisa diartikan sebagai kesiapan mental-spiritual atau kesiapan lahir batin pasangan yang akan menikah. Kesiapan ini juga bisa dipahami sebagai sinnurrusyd atau kedewasaan usia dan cara berpikir pasangan.
 
"Bukan hanya besar badannya, tapi juga sinnurrusyd, kedewasaan dan kematangan untuk memikul tanggung jawab hidupnya. Kalau tidak sinnurusyd, akan ada kemudharatan, kelemahan, keburukan, dan hal-hal negatif lainnya," tambahnya.
 
Persyaratan ini, jelasnya, sekaligus mengoreksi argumentasi pemahaman sebagian kalangan dengan menjadikan batasan baligh berupa mimpi basah bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan. Menurutnya, baligh harusnya dipahami sebagai fase setiap orang mulai dikenakan kewajiban agama, termasuk penilaian atas baik maupun buruknya sikap seseorang, bukan dasar kesiapan untuk menikah.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(AGA)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan