Plt. Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), Nizam menghormati dan mengapresiasi pendapat dosen-dosen UGM yang menolak pemberian gelar guru besar kehormatan untuk pejabat publik tersebut. Menurut Nizam, hal tersebut bagian dari otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik.
"Perbedaan pendapat dan persepsi kan biasa. Bagian dari otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik. Semua kita kembalikan pada perguruan tinggi masing-masing, karena kewenangannya sudah kita delegasikan ke perguruan tinggi," kata Nizam kepada Medcom.id, Jumat, 17 Februari 2023.
Nizam mengatakan, kewenangan untuk pemberian gelar maupun jabatan kehormatan sudah didelegasikan kepada perguruan tinggi. Hal ini karena pemberian gelar tersebut tidak berkaitan dengan anggaran negara.
Pengusulannya biasanya melalui senat akademik dan ditetapkan oleh rektor di masing-masing perguruan tinggi. "Doktor dan profesor kehormatan tidak mendapatkan tunjangan dari negara, beda dengan profesor akademik yang merupakan jenjang karier dosen," kata Nizam.
Menurut Nizam, jabatan guru besar non akademik ini merupakan amanah UU nomor 12 tahun 2012. "Sifatnya adalah jabatan tidak tetap, karena bukan karier dan ini bukan gelar," tegas Nizam.
Lazim Terjadi di Luar Negeri
Pemberian jabatan guru besar nonakademik ini juga lazim terjadi di luar negeri. Biasanya dengan menggunakan beberapa istilah, seperti adjunct professor, honorary professor, professor of practice, dan sebagainya.Para penerima jabatan guru besar nonakademik tersebut bisa berasal dari praktisi, profesional, peneliti, hingga birokrat yang memiliki pengalaman atau capaian luar biasa (tacit knowledge) yang bisa dibawa ke perguruan tinggi untuk menjadi explicit knowledge.
"Kenapa harus setara guru besar? Karena agar dapat menjadi pembimbing atau co-supervisor mahasiswa doktoral," tandas Nizam.
Ia menjelaskan, latar belakang pemberian jabatan guru besar kehormatan tersebut karena mempertimbangkan kemajuan iptek yang tidak hanya terjadi di perguruan tinggi. "Banyak pengetahuan baru yang berkembang dari praktik di dunia nyata, bukan hanya dari laboratorium atau perpustakaan.
Pengetahuan tersebut dikenal sebagai tacit knowledge. "Seperti pengetahuan dan teknologi pengolahan logam seorang empu keris, berkembang dari praktik dan pengalaman turun temurun," jelasnya.
Tacit Knowledge semacam ini bisa hilang jika tidak dijadikan eksplisit knowledge bersama para akademisi. "Karena itulah muncul jabatan profesor kehormatan (honorary professor), atau professor praktisi (professor of practice), atau professor sementara (adjunct professor), agar tacit knowledge tersebut dapat diajarkan dan dikaji secara ilmiah menjadi eksplisit knowledge yg berkontribusi bagi pengembangan dunia iptek.
Nizam yang juga guru besar UGM ini menambahkan, tujuan pemberian jabatan fungsional sementara/tidak tetap profesor kehormatan agar tacit knowledge tersebut bisa masuk menjadi kajian ilmiah di perguruan tinggi. "Sehingga tacit knowledge tidak hilang tapi bisa menjadi ilmu pengetahuan yang eksplisit dan secara ilmiah bisa lebih kukuh," terangnya.
Namun sekali lagi, kata Nizam, semua keputusan kembali pada perguruan-tinggi masing-masing dalam mengembangkan keilmuan tersebut. Apakah akan memanfaatkan tacit knowledge yang kaya dan ada di masyarakat melalui interaksi akademik tersebut atau menggunakan cara lain.
Kewajiban Jabatan
Nizam menjelaskan, profesor kehormatan bukanlah gelar seperti 'doktor honoris causa', melainkan sebuah jabatan nonkarier. Sehingga melekat juga tugas dan kewajiban jabatan, seperti mengajar dan publikasi bagi penerimanya."Karena diangkat oleh perguruan-tinggi, berlakunya terbatas di lingkungan perguruan tinggi yang bersangkutan. Demikian praktik yang berlaku secara internasional," terang Nizam.
Sedangkan gelar doktor honoris causa biasanya diberikan sebagai bentuk pengakuan kepakaran atau kontribusi karya seseorang yang dinilai setara setara dengan doktor.
Isi Petisi dan Pernyataan Dosen UGM Terkait Profesor Kehormatan
Kami dosen-dosen Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa:- Profesor merupakan jabatan akademik, bukan gelar akademik. Jabatan akademik memberikan tugas kepada pemegangnya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban akademik. Kewajiban-kewajiban akademik tersebut tidak mungkin dilaksanakan oleh seseorang yang memiliki pekerjaan dan atau posisi di sektor non-akademik.
- Pemberian gelar Honorary Professor (Guru Besar Kehormatan) kepada individu yang berasal dari sektor non-akademik tidak sesuai dengan asas kepatutan we are selling our dignity.
- Honorary Professor seharusnya diberikan kepada mereka yang telah mendapatkan gelar jabatan akademik Profesor.
- Jabatan Profesor Kehormatan tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas dan reputasi UGM. Justru sebaliknya, pemberian Profesor Kehormatan akan merendahkan muruah keilmuan UGM.
- Pemberian Profesor Kehormatan ini akan menjadi preseden buruk dalam sejarah UGM dan berpotensi menimbulkan praktik transaksional dalam pemberian gelar dan jabatan akademik.
- Pemberian Profesor Kehormatan seharusnya diinisiasi oleh departemen yang menaungi bidang ilmu calon Profesor Kehormatan tersebut berdasarkan pertimbanganpertimbangan akademik sesuai bidang ilmunya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id