Dewan Pakar Adobsi, Endry Boeriswati mengatakan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kampus masih membutuhkan banyak penguatan. Seperti mengalihkan model pembelajaran tradisional dengan metode ceramah ke model yang lebih atraktif, hingga menghilangkan keberadaan 'pengajaran malapraktik'.
Terjadi Malapraktik
Endry menyebut istilah malapraktik disematkan kepada kondisi di mana dosen-dosen yang mengajar bahasa dan sastra Indonesia namun tidak sesuai dengan latar belakang bidang keilmuannya. "Disebut malapraktik itu kalau yang mengajar bukan orang bahasa Indonesia, tapi dosen hukum, fisika lalu mereka mengajar bahasa Indonesia, itu namanya malapraktik," tegas Endry di Jakarta, Kamis, 23 November 2023.Hal ini terjadi, kata Endry, karena siapapun dianggap mampu mengajar bahasa Indonesia. "Tapi bagaimana bisa menjadi bahasa keilmuan jika yang mengajarkannya bukan orang lulusan jurusan bahasa Indonesia, bukan ahlinya. Ini akan jadi malapraktik pengajaran bahasa Indonesia," kata Endry.
Selain itu, masih banyak perguruan tinggi yang menganggap mata kuliah bahasa Indonesia sebagai sampingan dosen. Kondisi ini menurut Endry diperparah, dengan banyaknya perguruan tinggi yang tidak memiliki dosen tetap bahasa Indonesia.
"Jadi dosennya itu silih berganti, kalau begini bagaimana mau dikuatkan jika hanya numpang lewat. Bagaimana pengembangan bahasa Indonesia bisa terwujud jika dosennya cabutan," tegas Endry.
Untuk itu, Adobsi juga meminta pemerintah agar lebihh memperhatikan lagi keberadaab dosen MKWK (Mata Kuliah Wajib Kurikulum). "Dosen MKWK harus punya kedudukan yang sama dengan dosen bidang studi lainnya," terangnya.
Endry mengatakan, selain malapraktik pengajaran, yang harus diubah juga adalah metode mengajarkan bahasa Indonesia di kampus agar berubah ke arah yang lebih menyenangkan. "Bukan hanya mengajarkan penggunaan ejaan menulis gelar, menulis daftar pustaka, tapi harus dikuatkan pada kebutuhan berbahasa saat ini seperti apa," bebernya.
Ketua Umum Adobsi, Muhammad Rohmadi menyampaikan hal senada. Menurut Rohmadi, dosen bahasa Indonesia memang masih dianggap sebelah mata. Ia berharap ke depannya, tidak ada lagi dosen-dosen yang mengajar bahasa Indonesia namun tidak sesuai dengan bidang keilmuannya.
"Sebab itu melanggar aturan yang ada. Ibaratnya kalau kedokteran saja kan pengajarnya tidak boleh kalau bukan dari kedokteran, bahasa Indonesia juga harusnya begitu," tandasnya.
Rohmadi menyesalkan, kondisi ini terjadi di banyak perguruan tinggi, tidak hanya di perguruan tinggi swasta (PTS), namun juga di perguruan tinggi negeri (PTN). "Ini juga terjadi di PTN," ujarnya.
Sementara itu Dewan Pertimbangan ADOBSI Prof Fathiaty Murtadho menambahkan, pihaknya tak hanya mengembangkan konten pembelajaran bahasa Indonesia melainkan juga pada perubahan pola pikir para dosen. Hal ini penting, ujarnya, sebab pihaknya melihat saat ini pembelajaran bahasa Indonesia kurang mengikuti perkembangan fungsi-fungsi pembelajaran bahasa sehingga pendekatan pembelajaran Bahasa Indonesia perlu diubah.
"Kita tidak hanya membelajarkan Bahasa Indonesia sebagai pembelajaran yang hanya kepentingannya untuk menulis tetapi juga untuk kepentingan-kepentingan sosial lainnya," tutup Guru Besar UNJ ini.
Baca juga: Ini 10 Alasan Bahasa Indonesia Resmi Digunakan dalam Sidang Umum UNESCO |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News