Proses mitoni ramai diperbincangkan setelah Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep menggelar prosesi mitoni atau dikenal juga dengan syukuran tujuh bulan kehamilan istrinya, Erina Gudono di Istana Kepresidenan Bogor akhir pekan lalu.
Agar Sobat Medcom mengetahui lebih dalam apa itu mitoni, yuk kita simak artikel berikut ini yang dikutip dari berbagai sumber.
Dalam pelaksanaannya, bagi masyarakat umum Upacara Mitoni tidak digelar disembarang tanggal. Biasanya dilakukan pada hari Rabu atau Sabtu pada tanggal-tanggal ganjil di penanggalan Jawa sebelum bulan purnama uncul.
Sedangkan untuk pelaksanaan Upacara Mitoni di lingkungan Kraton Yogyakarta memiliki perbedaan, yakni digelar pada hari Selasa atau Sabtu.
Prosesi Mitoni ala Keraton Yogyakarta
Mengutip dari laman kratonjogja.id, prosesi mitoni di lingkungan Keraton Yogyakarta secara garis besar memiliki rangkaian yang sama. Yakni dimulai dari prosesi siraman, ganti busana, brojolan, dan slametan.Proses ini masih diikuti oleh masyarakat umum sebagai sebuah pakem Mitoni. Meski begitu, ada juga sebagian masyarakat yang menyederhanakan prosesi tersebut.
Di keraton, tradisi Mitoni terus dilestarikan bagi Putri Dalem (putri Sultan dan Permaisuri) dengan pranatan atau aturan khusus. Berikut rangkaian prosesi Mitoni yang lazim dilaksanakan pada masa Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10.
Miyos Dalem, hadirnya Sri Sultan dan Permaisuri (Garwa Dalem) di sasana upacara menandai dimulainya upacara Mitoni. Pada masa Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, pendopo Ndalem Kilen Keraton Yogyakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan.
Kemudian digelar pembacaan doa yang dipanjatkan oleh Abdi Dalem Kanca Kaji. Disusul Ngabekten, penghaturan sungkem pangabekti dari Putri Dalem dan Mantu Dalem kepada Sri Sultan, Permaisuri, dan Besan Dalem.
Setelah berganti busana, Putri Dalem bersiap menjalani prosesi Siraman. Prosesi Siraman dilakukan di kerobongan, sebuah bilik upacara berhias aneka tanaman seperti tebu, pisang, dan kelapa cengkir.
Sementara Putri Dalem berganti busana untuk Siraman, Garwa Dalem dan besan putri menuju kerobongan untuk melakukan Sileman Cengkir. Masing-masing membenamkan sebuah kelapa cengkir bergambar tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih ke dalam air.
Garwa Dalem meracik air dan ubarampe yang akan digunakan untuk Siraman (Ngrantun Toya), seperti kelapa ijem, air tujuh sumber, sekar setaman, konyoh manca warna, dan siwur bathok bolong. Selain itu Garwa Dalem dan besan putri juga Nata Lemek Lenggah atau menata alas yang akan diduduki Putri Dalem saat Siraman.
Alas ini terdiri atas daun apa-apa, kain letrek, dan klasa bangka. Menurut catatan lain, saat era Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921), alas ini disusun dari daun kluwih, daun dadap serep, daun beringin, daun kara, daun andong, daun alang-alang, daun elo, daun maja, daun apa-apa yang ditumpuk jadi satu, kemudian ditutup kain letrek, gadhung mlathi, bango tulak, sembagi (kain cita), mori pali,dan paling atas lurik pliwatan.
Tujuh orang akan mengguyurkan air ke tubuh calon ibu, yaitu Garwa Dalem, besan putri, serta lima orang sesepuh perempuan yang sudah memiliki cucu. Sepanjang prosesi, doa-doa dipanjatkan, memohon keselamatan bagi ibu dan calon bayi.
Setelah Siraman, Putri Dalem melakukan Muloni, berwudu dengan air yang dikucurkan dari klenthing oleh Nyai Penghulu (sesepuh putri). Klenthing itu kemudian dibanting ke lantai hingga pecah oleh Garwa Dalem dan besan putri sembari mengucapkan “Saiki wis pecah pamore”. Prosesi ini disebut Mecah Pamor.
Selepas Siraman, Putri Dalem berganti Busana Kering dan rambutnya ditata dengan model ukel tekuk. Mantu Dalem mengenakan busana pranakan lurik pangeran dengan kain nyamping (kain jarik) senada. Keduanya bersiap menjalani prosesi Pantes-pantes.
Putri Dalem akan mencoba nyamping dan kain semekan sebanyak tujuh kali. Setiap kali Putri Dalem berganti nyamping dan semekan, para tamu akan ditanyai, “Sampun pantes dereng?” (Apakah busana tersebut sudah pantas?). Para tamu akan berseru untuk nyamping dan semekan pertama hingga ke enam dengan jawaban “Dereng,” (Belum pantas). Sedangkan yang ketujuh, yaitu kain lurik, dianggap paling pantas sehingga hadirin menjawab, “Sampun pantes,” (Sudah pantas).
Busana kain lurik yang dikenakan Putri Dalem ditambahi ikat pinggang dari janur kuning untuk prosesi Nigas Janur, yaitu memotong janur kuning yang dilingkarkan di perut calon ibu. Mantu Dalem akan memotong janur itu dengan keris dhapur brojol yang bagian ujungnya diberi kunir/kunyit.
Mantu Dalem kemudian mundur tiga langkah dan berbalik cepat untuk lari lurus ke luar pintu. Dua buah kelapa berukir gambar Kamajaya dan Kamaratih ditelusupkan di antara perut dan rongga kain lurik yang dikenakan Putri Dalem lalu diterima oleh Garwa Dalem serta besan putri.
Prosesi Brojolan ini menyimbolkan harapan agar calon bayi lahir dengan mudah. Kelapa cengkir yang berada di tangan Garwa Dalem dan besan putri kemudian digendong dengan cara ‘diemban’, seperti menggendong bayi, menuju kamar Putri Dalem. Prosesi ini dinamakan Boyong Cengkir.
Kain-kain yang dianggap kurang pantas dikenakan saat acara Pantes-pantes sebelumnya dijatuhkan bertumpuk di lantai. Putri Dalem diminta duduk di atas tumpukan kain itu sambil menyantap jenang procot.
Prosesi ini disebut Lenggah Petarangan. Selepas itu, Putri Dalem dan suami bersama-sama Boyong Petarangan, yaitu membawa tumpukan kain tersebut ke kamar.
Saat Putri Dalem dan Mantu Dalem kembali berganti busana, Dhahar Rogoh dilaksanakan sebagai prosesi terakhir. Sembilan orang sesepuh diminta mengambil nasi dan sebutir telur dari dalam klenthing.
Sembilan melambangkan banyaknya bulan yang dilalui bayi dalam rahim sebelum dilahirkan. Selesai berganti pakaian, Putri Dalem dan Mantu Dalem selaku penyelenggara upacara menyambut serta mempersilakan hadirin menyantap hidangan (Handrawina).
Filosofi Mitoni
Dalam filosofi Jawa, sebuah kehamilan merupakan bagian atau tahap penting dalam daur hidup. Setiap prosesi dalam upacara Mitoni secara langsung maupun simbolik bertujuan memohon rahmat dan keselamatan bagi ibu serta calon bayi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Juga pengharapan agar proses kelahiran berlangsung dengan lancar tanpa hambatan.Dalam prosesi mitoni ini, tidak hanya tahapan-tahapan di atas saja yang lekat dengan tradisi. Ada juga sejumlah makanan khas yang disajikan saat mitoni dan menjadi simbol-simbol yang memiliki bantak makna.
Tujuan Mitoni
Melansir lama Surakarta.go.id, mitoni dalam tradisi Jawa dilaksanakan bertujuan agar calon ibu dan calon bayi mendapatkan keselamatan sejak dalam kandungan hingga tumbuh dewasa. Selain itu, mitoni juga dapat menjadi sarana silaturahmi bagi masyarakat sekitar.Kemudian mitoni dapat menjadi media untuk melestarikan budaya nenek moyang, agar tetap terjaga. Sehingga, hal ini dapat mempertahankan unsur budaya yang ada. Maka, budaya tersebut dapat menjadi ketetapan atau ciri khas bagi masyarakat Jawa.
Berikut makanan yang ada dalam upacara Mitoni:
- Tumpeng Pitu: Mengutip dari laman jbbudaya.jogjabelajar.org, tumpeng ini menyajikan satu tumpeng besar tumpeng terbuat dari nasi putih biasa yang dikelilingi enam tumpeng kecil di sekelilingnya. Jumlah tumpeng menandai usia kehamilan yang sudah mencapai usia 7 bulan dan memiliki makna pengharapan bahwa kehamilan akan lancar, bayi lahir dengan sehat.
- Jenang Procot: Jenang procot ini dibuat dari tepung beras yang dicampur dengan gula merah di mana di bagian tengahnya diberi pisang yang telah matang. Jenang bermakna pengharapan dari orang tua agar sang jabang bayi dilahirkan "mrocot" atau keluar dengan cepat dan lancar.
- Jenang procot terbuat dari tepung beras yang dicampur gula merah. Pada bagian tengah tengah jenang diberikan pisang yang telah matang. Jenang ini memiliki makna dan harapan orang tua bahwa bayi yang akan dilahirkan” mrocot” atau keluar dengan cepat dan lancar
- Jenang Clorot: Selain jenang procot, ada juga jenang clorot yang kerap dijumpai dalam upacara mitoni. Ia terbuat dari tepug beras, gula merah, garam dan santan kental. Bentuknya memanjang dan dililit janur yang dimasak dengan cara dikukud. Jenang ini disajikan sebanyak tujuh buah dan bermakna perngharapan bayi akan lahir dengan mudah dan cepat.
- Jenang Abang: Masih dari keluarga perjenangan, dalam mitoni juga kerap ditemui jenang abang yang dibuat dari beras yang dimasak sampai lembek kemudian dicampur dengan gula merah serta disajikan dengan siraman santan. Jenang ini bermakna selalu menghormati orang tua dan selalu memohon doa restu kepada orang tua agar selalu mendapatkan kemudahan, keselamatan, dan kelancaran.
- Jenang Putih: Selain jenang abang, tentunya ada jenang putih yang sama-sama terbuat dari beras yang dicampur dengan santan kental sampai lembut. Rasanya gurih dan memiliki pengharapan agar orang tua selalu memberikan doa dan restu.
- Jenang Palang Putih adalah bubur beras berwarna merah diberikan palang atau tanda silang yang terbuat dari bubur warna putih. Jenang palang putih memiliki makna adanya rasa dan karsa yang artinya semua tingkah laku dan ucapan/tutur kata dari orang tua calon bayi harus selalu disertai kemantapan dan niat yang tulus ikhlas.
- Jenang Palang Abang adalah bubur beras berwarna putih yang di silang dnegan bubur berwarna merah. Jenang in memiliki makna bahwa seorang wanita/ibu jika akan melakukan tindakan maupun ucapan sebaikanya dirasakan dahulu menurut kemantapan hati, baru setelah itu baru dilaksanakan atau dilakukan.
- Jenang Baro baro merupakan bubur beras putih dengan cita rasa gurih kemudian di atasnya diberikan taburan parutan kelapa yang sudah dicampur gula jawa dengan cita rasa manis. Jenang ini memiliki makna bahwa sebagai orang tua calon bapak dan ibu harus selalu bersama dalam berbgai suasana baik suka maupun duka dan dalam selalu bersama dalam menghadapi cobaan.
- Jenang Sumsum adalah jenang yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan kental, daun pandan, dan sedikit garam di masak sampai mendidih. Cara penyjiannya adalah dengan disirmakan kuah kinca di atas jenang sumsum, sehingga tercipata perpaduan rasa guruh dan manis. Jenang sumsum memiliki makna bahwa calon ibu akan diberikan kekuatan, kelancaran, dan kesehatan saat melahirkan maupun setalah melahirkan.
- Sega Gurih atau disebut juga nasi uduk terbuat dari beras yang dimasak dengan campuran santan, daun salam, dan sedikit garam. Saga gurih memiliki makna sebagai lambang makanan pokok, sumber pangan untuk keluarga, dan tidak kekurangan makanan.
- Sega Punar adalah nasi yang berwarna kuning terbuat dari beras yang dimasak dengan tambahansantan daun salam, garam, dan kunyit. Sega punar memiliki makna bahwa harapan orang tua nanti saat bayi sudah lahir akan memberikan cahaya yang bersinar terang dalam kehidupan keluarga dan membawa kebahagiaan seluruh keluarga.
- Sega Guyeng atau sega inter-inter adalah nasi dengan lauk gudangan (sayuran yang diberikan taburan kelapa berbumbu) dan telur dadar yang diris tipis. Sega guying ini memiliki makna bahwa bayi yang akan lahir diharapkan akan menjadi anak yang berakhlak baik, pintar, baik, pintar, dan menjadi teladan bagi orang lain.
- Ketan Ponco Warno Hidangan ketan ponco warno adalah hidangan dari bertas ketang yang dimasak, kemudian dibentuk bulat bulat dengan aneka warna. Ketan ponco warno ini memiliki makna tentang warna warni kehidupanyang akan melekat pada calon bayi.
- Sega Megana adalah nasi yang diletakkan pada periok, dan di dalamnya sudah disertakan lauk beserta sayurannya. Sega megana memiliki makna bahwa calon bayi yang berada di kandungan pada usia tujuh bulan ini sudah terbentuk secara lengkap sebagai manusia baik secara fisik maupun non fisik yang siap dilahirkan.
- Rujak dalam acara mitoni adalah rujak gobet, rujak ini merupakan campuran dari buah buahan seperti bengkoang, nanas, manga muda, belimbing, jambu, kedondong, papaya,dan lain lain. Buah buahan tersebut biasanya diserut kemudian dicampur dengan saos yang bercita rasa manis pedas, asam, dan segar. Rujan ini memiliki makna bahwa anak yang akan lahir nanti dapat bergaul, berbaur, dan diterima oleh semua masyarakat. Prosesi jualan rujak pada acara mitoni ini adalah diharapkan anaknya tersebut kelak akan tercukupi rejekinya dan mendapatkan kesuksesan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News