Ghufron, yang sore itu hadir bersama sejumlah staf dan seorang ilmuwan diaspora Indonesia yang berkarya di University of Nottingham, Inggris, Bagus Putra Muljadi mengatakan, pihaknya ingin melahirkan SDM lulusan pendidikan tinggi yang tidak hanya survive, namun berintegritas, kompeten dan memiliki daya saing.
"Melihat pidato Presiden Jokowi (Joko Widodo) dalam banyak kesempatan, visi misinya menekankan pembangunan dari infrastruktur akan bergeser ke SDM di era pemerintahannya yang kedua ini. Ke depan, SDM dikti juga harus responsif dan visioner melihat apa yang terjadi di masa mendatang. Bisa membaca dan mengantisipasi," kata Ghufron, saat diterima jajaran Redaksi Medcom.id di Ruang Meeting Executive lantai 5 Grand Studio Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Senin sore, 5 Agustus 2019.
Untuk itu, menurut Ghufron, banyak poin penting yang akan menjadi pekerjaan rumah dalam pembangunan SDM. Pembangunan SDM, kata Ghufron, harus sudah mulai direncanakan sejak bayi di dalam kandungan hingga pendidikan tinggi.
"Sejak hamil saja sudah harus direncanakan dengan baik, bagaimana nutrisinya, Docosahexaenoic acid (DHA)-nya harus diperhatikan. Terutama untuk menekan angka stunting," kata Ghufron.
Baca: 57 Ilmuwan Diaspora Diundang Mudik
Pembangunan SDM juga akan berfokus pada pengembangan pendidikan vokasi di pendidikan tinggi. Agar lulusan yang dicetak perguruan tinggi vokasi akan semakin sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan industri.
Ia menekankan, bagaimana secara umum pengelolaan program studi (prodi) di perguruan tinggi dapat dijalankan dengan menyesuaikan kebutuhan, jangan sampai terjadi surplus tenaga kerja di bidang tertentu yang sangat terbatas lapangan kerjanya.
"Misalnya di beberapa waktu lalu banyak perguruan tinggi membuka prodi pendidikan, mereka menghasilkan 250ribu calon guru tiap tahun. Padahal yang terserap hanya 20 persennnya saja," ungkap Ghufron.
Ke depan, perencanaan di perguruan tinggi terkait peta kebutuhan SDM harus lebih cermat dan relevan dengan zaman.
Manajemen Talenta
Hal lain yang disampaikan Plt. Rektor Universitas Trisakti ini adalah mengenai Manajemen Talenta melalui pemberdayaan diaspora, terutama ilmuwan diaspora. Direktorat SDID dalam hal ini akan mengemasnya dalam sebuah program Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD).
Embrio SCKD ini sebenarnya telah dimulai sejak 2016 lalu, kala itu masih dalam program visiting World Class Professor (WCP). Sejumlah ilmuwan diaspora Indonesia yang tersebar di perguruan tinggi dunia turun dan bertemu langsung dengan akademisi-akademisi di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia.
"Jadi selain program 'membangun lewat pinggiran' kita juga membuat program membangun Indonesia dari dunia untuk Indonesia, melalui ilmuwan diaspora-diaspora Indonesia yang menyebar di seluruh dunia," terangnya.
Tahun ini Visiting WCP sudah berkembang menjadi SCKD dan akan diikuti oleh 57 ilmuwan diaspora yang saat ini berkarya di perguruan tinggi di seluruh dunia. Acara ini akan digelar 18-25 Agustus 2019 di Jakarta.
"Melalui SKCD membuktikan bahwa negara hadir untuk para diaspora, mereka akan datang ke Indonesia tidak hanya untuk transfer knowledge, skill, dan teknologi yang mereka kuasai, namun yang terpenting juga merajut kebangsaan," terangnya.
Baca: Bermodal IPK 2,70 Sukses Jadi Ilmuwan di Inggris
Program 'mengundang mudik' diaspora yang sudah dirintis sejak 2016 ini pun, kata Ghufron, telah menghasilkan banyak hal. Para diaspora tidak hanya mampu menjadi jembatan kolaborasi antara akademisi Indonesia dengan jaringan luar negeri, namun juga telah menghasilkan sejumlah grant (dana hibah) dari luar negeri untuk mendukung penelitian dosen-dosen di Indonesia.
Untuk diketahui, dari SCKD 2018 lalu, kolaborasi antara ilmuwan diaspora Indonesia dengan ilmuwan dalam negeri telah menghasilkan 25 Under Review Journal, 30 Submitted Journal, 18 Manuscript Journal, 35 Accepted Journal, 28 Proceeding, 90 Published Journal, dan 18 Conference hingga Short Course di universitas terbaik dunia.
"Kami berharap dengan adanya ilmuwan diaspora ini dapat meningkatkan kerja sama, kolaborasi di pendidikan tinggi yang memberi lompatan besar pada pembangunan SDM di Indonesia," ungkap Ghufron.
Direktur Pemberitaan dan Penanggung Jawab Medcom.id, Abdul Kohar memuji program SCKD yang digagas SDID Kemenristekdikti. Menurut Kohar, program ini akan menjadi magnet dan pintu bagi para ilmuwan diaspora untuk kembali dan terlibat dalam proses pemajuan peradaban bangsa.
"Istilahnya dunia sekarang sudah bergegas, kita akan ketinggalan jika tidak belajar apa yang dilakukan negara-negara di luar sana," kata Kohar.
Kohar mengaku "iri" dengan model pembangunan SDM yang dilakukan sejumlah negara seperti Korea, Tiongkok, dan India. Menurut Kohar, pembangunan SDM di ketiga negara tersebut betul-betul terintegrasi antara pendidikan dengan industrinya.
"Apalagi kalau nanti betul Tiongkok jalin kerja sama dengan Huawei untuk 5G-nya itu luar biasa sekali. Ini bukan suatu hal yang tiba-tiba, mereka sudah punya blue print hingga 2030," papar Kohar.
Kohar berharap, kehadiran Ghufron, sebagai perwakilan pemerintah di Medcom.id juga menjadi bagian dari upaya memperkuat kolaborasi dengan media. Sehingga kolaborasi antara pemerintah, diaspora dan media menjadi satu kesatuan yang utuh dan ke depannya dapat bersama-sama mempercepat terjadinya lompatan-lompatan pembangunan SDM di Indonesia.
"Kita memang harus keluat dari kutukan ekonomi berbasis SDA (Sumber Daya Alam). Semoga Indonesia bisa memutus mata rantai (kegergantungan SDA) dengan concern visi Indonesia di bidang SDM. Ini akan sangat berpengaruh, jika dilakukan secara kolaboratif dan masif, kami dukung sepenuhnya," tutup Kohar.
Dalam pertemuan tersebut turut hadir Pemimpin Redaksi Medcom.id, Budianto, Indra Maulana {Wakil Pemimpin Redaksi Medcom.id), Jati Savitri (Head of Content Enrichment, Video Social Media), Hendra Wicaksono (Senior Manager), dan Rio Dasanof (Marketing Strategic Head).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News