Seorang anak menunggu orangtuanya yang bekerja sebagai pemulung. Foto: MI/Ramdani
Seorang anak menunggu orangtuanya yang bekerja sebagai pemulung. Foto: MI/Ramdani

Sulitnya Turunkan Angka Putus Sekolah

Mulyadi Pontororing • 04 Mei 2018 14:01
Manado: Angka putus sekolah di Kota Manado, Sulawesi Utara memprihatinkan, dalam kurun waktu dua tahun terakhir nyaris tak bergerak turun.  Terjadinya keliru paham tentang konsep pendidikan, diduga menjadi penyebab utama mental-nya sejumlah program penuntasan putus sekolah.
 
Data Yayasan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sam Ratulangi menunjukan, tingkat putus sekolah di Kota Manado tak bergerak dalam kurun waktu dua tahun belakangan.  "Di 2017 ada sekitar 200 hingga 300 orang dari usia sekolah sampai usia 35 tahun yang mengkuti ujian Paket C. Kemudian pada 2018, angka itu juga tak jauh berbeda," kata Ketua Yayasan PKBM Sam Ratulangi, Faradila Bachmid, kepada Medcom.id, di Manado, Jumat, 4 Mei 2018.
 
Angka putus sekolah ini, diperkirakan jauh lebih besar dari itu, sebab data di atas hanya mencatat jumlah siswa yang terdaftar di tujuh PKBM di Sulawesi Utara. "Dengan kata lain, masih ada anak putus sekolah lain di luar PKBM yang mungkin saja tidak terdata," jelasnya.

Persoalan tingginya angka putus sekolah di Kota Manado dipicu oleh sejumlah faktor, mulai dari ekonomi, hingga pengaruh lingkungan. "Paling mencolok itu faktor pengaruh lingkungan," kata perempuan yang akrab disapa Dila ini.
 
Salah satunya adalah munculnya gagal paham tentang konsep pendidikan dan sifat masyarakat yang cukup pragmatis.  Pendidikan tidak dipandang sebagai sebuah investasi, namun hanya sebatas alat untuk mendapatkan uang dan pekerjaan.
 
Akibatnya, bagi sebagian masyarakat yang sudah berpenghasilan dan memiliki pekerjaan, menganggap pendidikan sebagai hal yang tidak lagi penting.  
 
"Mereka bahkan berpikir buat apa buang-buang uang sementara mereka sudah bisa mendapatkan uang, melalui pekerjaan mereka, berjualan di pasar misalnya," ungkap Dila yang juga Pegiat Literasi Sulawesi Utara itu.
 
Dila mengaku, kondisi ini jamak ditemuinya pada anak-anak usia sekolah yang telah mandiri secara finansial, dengan berjualan di pasar atau di kawasan pemukiman menengah ke bawah.
 
"Padahal kata dia, mindset seperti itu seharusnya diubah," tegas Dila.
 
Ia menegaskan, pendidikan bukan hanya sekadar alat untuk mendapatkan pekerjaan atau uang yang banyak, melainkan juga ada misi meningkatkan kualitas diri manusia.  
 
Untuk mengubah pola pikir itu, kata Dila, diperlukan aksi nyata semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan.  "Tentu ini tak bisa semata-mata diserahkan kepada pemerintah saja. Tapi harus menjadi tanggung jawab bersama semua pihak yang peduli akan peningkatan pendidikan kita," ujarnya.
 
Ia berharap, kepedulian yang diberikan pemerintah kepada masyarakat juga akan dibarengi dengan langkah terobosan. Ia menyarankan agar bantuan-bantuan yang dikucurkan oleh pemerintah maupun orang yang berkecukupan kepada mereka yang kurang beruntung ini tidak melulu berbentuk bahan sandang pangan.
 
"Tapi seharusnya ada juga bantuan berupa kemudahan akses pendidikan. Karena sekalipun undang-undang mengatur bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, kita tahu bahwa pendidikan juga masih menjadi barang yang tidak gratis saat ini," katanya.
 
Selain itu, pemahaman ini sebisa mungkin ditanamkan dari lingkungan terkecil, yakni di dalam keluarga. Sebab, kata dia, keluarga sangat berperan penting dalam pendidikan anak.
 
"Dan lagi-lagi ini tanggung jawab kita bersama untuk memberi pendidikan kepada setiap keluarga bahwa pendidikan bukan hanya sekadar untuk mendapatkan pekerjaan saja melainkan untuk juga meningkatkan kualitas diri," tandasnya.
 

 

 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan